17

2.4K 178 5
                                    

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, Retha terbiasa dengan ritme baru kesehariannya. Dinda, Putri, Wildan, Salman, dan Aldi menjadi makin dekat dengan Retha semenjak perempuan itu membuka diri ke lingkungan barunya. Retha sudah tidak terbayang-banyang masa sekolahnya yang jauh lebih indah itu. Perempuan yang kini rambutnya berwarna abu-abu di bagian bawah rambut panjangnya itu juga kini mencetak prestasi dan pengalaman baru di perkuliahannya ini. Di tahun kedua, Retha mengikuti seleksi kepengurusan himpunan mahasiswa Sastra Inggris atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gemasi.

Karena sudah masuk ke golongan mahasiswa tingkat akhir, Retha sudah lebih leluasa bergaul dengan kakak tingkat maupun adik tingkat yang sedang membunuh waktu di Bangku Biru, tongkrongan mahasiswa Sastra Inggris di FIB Unpad, di jeda waktu ke mata kuliah selanjutnya. Ia duduk di salah satu bangku berwarna biru itu menunggu Dinda dan Wildan yang tadi memisahkan diri saat keluar dari gedung perkuliahan untuk membeli kudapan ke kantin di gedung PSBJ. Kedua sahabatnya itu yang bertahan sekelas dengannya karena memilih ikut berjuang di pengutamaan Sastra bersama Retha.

Perempuan dengan kaus putih yang dipadu padankan dengan kemeja flanel bermotif kotak berwarna krem dan hijau dan celana jeans biru itu mengikat helaian rambutnya menjadi satu kunciran di kepalanya. Totebag berwarna krem yang masih tersangkut di lengan kanannya itu dilepas dan ditaruh asal di sampingnya. Ada perubahan besar dalam diri Retha yang tidak dirinya duga sama sekali. Ia kira Retha yang aktif dalam berbagai kegiatan di luar akademik akan mati begitu saja. Nyatanya, Retha berhasil keluar dari zona nyamannya.

"Eh, Retha. Nungguin siapa lo?" tanya Naufal, salah satu kakak tingkat Retha, datang langsung melayangkan telapak tangannya pada Retha untuk segera dibalas.

Retha membalas telapak tangan Naufal dengan tepukan ringan, "Biasa, Dinda sama Wildan. Lo ada kelas, Pal?" tanyanya.

Hanya di program studi Sastra Inggris, mereka bebas menyapa kakak tingkat tanpa sapaan Kang, Teh, atau Kak. Langsung memanggil nama. Di awal perkuliahan, mulut Retha masih sering keseleo memakai sapaan itu karena masa sekolah dirinya terbiasa dengan memanggil kakak kelas dengan sapaan sopan itu. Terbiasa dengan lingkungan dengan tingkat senioritas cukup tinggi, membuat Retha sedikit canggung dengan kakak tingkatnya. Tapi tidak setelah Retha selalu menghadirkan diri di setiap kegiatan yang jurusannya adakan.

Di semester satu, Retha bahkan sangat enggan sekadar membunuh waktu di tongkrongan ini. Daripada merasa canggung, Retha lebih memilih menghindar dan kembali ke ruangan ternyamannya di Jatinangor, kamar indekosnya. Rasanya baru kemarin Retha merasa sulit beradaptasi di lingkungan barunya. Sekarang ia sudah menjadi angkatan cukup tua yang berhasil melepas rasa canggung berada di lingkungan asing sejak setahun yang lalu.

"Iya, nih. Males anjir kelasnya Pak Adi." celetuk lelaki berkacamata di hadapannya itu.

Retha terkekeh pelan, "Inget, lo udah ngulang masa tahun depan lo ngulang lagi? Kebalap sama gue, dong."

"Ini, mah, lonya aja yang nyebelin ngambil SKS ke atas duluan." dumal Naufal menendang kerikil kecil dengan sepatu hitamnya.

Sejak semester satu, IP Retha memang memenuhi ambang batas untuk menarik mata kuliah di semester depannya. Bisa dibilang, perempuan bermata indah itu dipastikan akan lulus lebih cepat dibanding teman-teman seangkatannya. Dalam satu semester ada 20 SKS yag harus diambil oleh mahasiswa Sastra Inggris. Tapi Retha berhak mengambil 4 SKS di semester depan. Artinya, jadwal kuliah Retha sejak tahun kemarin memang cukup padat. Fakultasnya memang mengusahakan mahasiswa bimbingannya lulus lebih cepat, yaitu antara tiga sampai tiga setengah tahun.

"Gue duluan, ya, Reth." pamit Naufal menepuk pundak Retha setelah melihat jarum jam di pergelangan tangannya.

Kepergian lelaki dengan ransel berwarna biru dongker itu digantikan oleh kedatangan Dinda dan Wildan. Kedua sahabatnya itu duduk bersebrangan dengan Retha, di bangku yang baru saja diduduki Naufal. Wildan datang dengan dua kaleng minuman ringan di kedua tangannya. Sementara perempuan berkacamata di samping Wildan membawa satu kantung kresek hitam berisi makanan ringan. Wildan menyerahkan salah satu kaleng minumannya pada Retha.

"Apaan, nih?" tanya Retha menerima minuman kaleng berwarna hijau dari tangan Wildan.

"Sesuai janji. Gue bakal beliin lo Green Sands kalo nilai kuis gue bisa di atas tujuh puluh setelah minta lo ajarin." jelas Wildan.

Retha tahu jika Wildan menyimpan rasa padanya. Lelaki berkaus hitam polos itu baru saja menyatakan cintanya pada Retha dua hari yang lalu, saat keduanya belajar bersama di sebuah kedai yang tidak jauh dari Jatos. Wildan tidak menuntut Retha membalas perasaannya karena lelaki itu tahu ada seseorang yang perempuan itu tunggu. Tetap saja, Retha merasa tidak enak hati membiarkan Wildan tenggelam sendirian. Tidak bisa dipungkiri bahwa Wildan selalu ada di setiap waktu Retha selama satu tahun terakhir ini. Tentu Retha nyaman dengan kehadiran berdarah Palembang itu.

"Thank you." balas Retha kemudian membuka minuman kaleng itu dan meneguknya.

Wildan tersenyum. Retha menangkap ekspresi getir di balik senyum lelaki itu. Walaupun Retha berjanji pada Wildan untuk tetap bersikap seperti biasa, tetap saja ia tidak bisa mengobati rasa kecewa di hati Wildan. Retha tidak menjauh dan juga tidak menutup akses untuk Wildan mendekatinya.

"Lo jadi balik ke Bandung habis kelas ini, Reth?" tanya Dinda mengalihkan pikiran Retha.

Retha mengangguk, "Abang gue besok lamaran. Masa gue ga dateng?"

Dinda menyenggol pundak Wildan di sampingnya memberi kode, "Congrats buat abang lo."

Wildan memberi tatapan sinis pada Dinda kemudian tersenyum pada Retha, "Selamat buat abang lo, Reth."

Retha tersenyum, "Thank you."

Rombongan kelas Linguistik berhamburan datang memenuhi Bangku Biru. Salah satunya Salma yang langsung berdiri di lantai semen di depan Dinda. Lelaki berambut ikal itu menyodorkan karet rambut hitam pada Dinda dan meminta perempuan itu menguncir rambutnya. Dinda terpaksa mengentikan kegiatannya membuka bungkus Chocolatos-nya untuk mengikat rambut panjang Salman.

Mulai chapter ini, alur akan dipercepat.

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang