28

2.9K 185 0
                                    

Wacana tentang reuni SMA tiga bulan yang lalu di ruang obrolan beranggotakan empat ratus orang itu akhirnya benar-benar terjadi malam ini. Reuni perdana setelah lima tahun dari hari kelulusan itu akan diadakan di sebuah hotel berbintang lima di Bandung. Rambut panjang bergelombang sebahu berwarna ash-brown yang dikuncir setengah menyempurnakan dress off-shoulder biru dongker berbahan satin yang digunakan Retha malam ini. Aksen berwarna emas menghiasi bahan satin di balik kain tule yang menjuntai dari pinggang hingga ke betis. Sneakers berwarna putih membuat penampilannya terlihat anggun sekaligus kasual.

Berangkat bersama Rio dan Nina. Selain karena rumah ketiganya yang berada di satu kawasan, Retha juga tidak ingin membuat kehebohan jika dirinya datang bersama Radyan. Jelas tidak ada yang tahu jika keduanya masih berkomunikasi dan bahkan sering bertemu hingga saat ini. Retha dan Radyan juga tidak membagikan momen kebersamaan mereka di sosial media. Hanya Rasya, Rio, Nina, Farah, dan Manda yang tentunya mengetahui hubungan tanpa status yang sedang dijalaninya bersama Radyan. Mereka juga memilih untuk tidak terlalu mengurusinya. Bagaimana pun, yang menjalani adalah Retha dan Radyan.

Sampai di sebuah hotel berbintang di Jalan Gatot Subroto itu, Retha berjalan terlebih dahulu memasuki lobi. Diikuti Rio dan Nina yang tentu sedang melepas rindu. Rio bekerja di Jakarta dan Nina bekerja di Bandung. Sekarang mereka berdua yang menjalani hubungan jarak jauh yang tak lebih jauh dari hubungan jarak jauh yang dijalani Retha dan Radyan sebelumnya. Selesai mengisi buku tamu, Retha bersama Rio dan Nina memasuki ballroom yang didekorasi sedemikian rupa sesuai tema yang diangkat, Hollywood.

"Sumpah ini rasanya kayak prom." celetuk Nina yang masih terpana dengan dekorasi ruangan dan juga rekan-rekannya yang sudah hadir memenuhi ballroom.

"Retha! Nina!"

Mendengar namanya dipanggil, Retha dan Nina langsung memutar tubuh mereka ke sumber suara. Dan keduanya langsung bisa menemukan Farah dan Manda yang melambaikan tangan di sebuah meja lingkaran yang juga diisi oleh beberapa anggota kelas mereka. Tanpa berlama-lama, Retha dan Nina pun menghampiri kedua sahabatnya itu. Tak lupa Rio yang Nina tarik untuk ikut duduk bersama. Tak berbeda jauh dengan Retha dan Nina, Farah dan Manda juga mengenakan gaun sepanjang betis yang tentu memberi kesan formal dan berkelas.

"Akhirnya ketemu sama lo, Reth." ucap Manda di tengah-tengah pelukannya dengan Retha.

"Iya, nih. Akhirnya ada alasan gue pulang ke Bandung." balas Retha menatap Manda dan kemudian beralih memeluk Farah, "Apa kabar, Far?"

"Baik banget! Kangen..." balas Farah, "Betah di Jakarta?" tanyanya menatap Retha.

Retha mengangguk, "Betah, dong."

"Oh, iya. Udah bisa sering ketemu sekarang, mah." balas Farah.

Duduk melingkar di sebuah meja berbentuk lingkaran, Retha dan teman-temannya melepas rindu sampai acara akhirnya dibuka oleh pemandu acara. Panggung setinggi satu meter di salah satu sisi ruangan menjadi pusat perhatian. Beberapa penampilan mereka nikmati bersama susunan acara lainnya yang tak kalah seru. Games menarik pun ada dalam susunan acara. Maka dari itu mereka disarankan memakai pakaian yang nyaman di samping harus tetap terlihat berkelas sesuai dengan tema yang diangkat.

"Sekarang, gue minta perwakilan tiap kelas dua orang untuk naik ke atas panggung." pinta Dika yang kini memandu sesi games dari atas panggung melalui mikrofon.

Denah duduk memang diatur sedemikian rupa sesuai dengan kelas. Wajah enggan tercetak jelas di wajah teman-teman sekelas Retha. Ia kemudian menemukan Nina yang duduk di sampingnya mendorong paksa Rio supaya maju ke depan. Berhasil mendorong Rio, Nina melanjutkan aksinya mendorong Gilang yang duduk di lingkaran meja sebelahnya. Gilang menolak dan malah meminta Nina saja yang mewakili kelas. Bukan Nina namanya jika ia tidak berhasil memaksa orang. Gilang akhirnya berjalan gontai menyusul Rio yang sudah lebih dulu maju ke atas panggung.

Retha menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Nina, "Barbar banget, sih, lo."

"Gila lo, Na!" tambah Hera yang duduk tak jauh dari perempuan yang sedang tertawa jahil itu.

"Kalian semua tau sekarang kita mau ngapain?" tanya Dika pada dua puluh dua orang yang berdiri berjajar di atas panggung.

Semua menggeleng, termasuk Rio yang memasang wajah masamnya pada Nina yang puas mengabadikannya dengan ponselnya. Lelaki yang dahinya tertutup poni panjangnya itu tak berhenti menatap tajam kekasihnya itu dari atas panggung. Tempat duduk yang diduduki Nina cukup strategis untuk merekam Rio. Nina tak berhenti terbahak saat tahu games apa yang akan Rio jalani bersama Gilang di depan sana. Whisper challenge. Urutan main diacak, jadi tidak berurutan dari kelas IPA 1 ke IPS 2. Dan Nina kembali puas ketika gulungan kertas yang Rio buka bertuliskan angka satu. Rio dan Gilang akan dipermalukan pertama kali.

Gilang memakai headphone wireless berwarna hitam dengan logo tiga huruf itu di telinganya. Artinya Gilang yang menebak. Gulungan kertas berisi kalimat yang harus Gilang tebak sudah ada di dalam toples yang dipegang Dika. Dua mikrofon dengan penyangganya diletakkan di dekat kedua pemain tanpa menghalangi masing-masing pemain. Waktu yang diberikan adalah dua menit dan yang memenangkan permainan adalah tim yang berhasil menebak kalimat paling banyak. Gilang tampak menikmati lagu yang diputarkan di headphone sementara Rio terlihat tak puas dengan kalimat yang ia dapatkan untuk segera ditebak Gilang ketika waktu dimulai.

"Yang bener aja, ah, Ka. Masa gue harus melisankan ini di depan semua orang?" keluh Rio pada lelaki di sampingnya yang sedang menahan tawa.

"Time is running, Bro." balas Dika menunjuk ke arah layar LED yang terpasang sebagai backdrop panggung.

Rio melengos menatap Gilang yang bertanya, "Gue! Gelantungan!" serunya.

"Apa!" seru Gilang yang belum menangkap gerak bibir Rio.

"Gue! Gelantungan!" seru Rio lebih keras sampai rasanya suaranya akan hilang setelah permainan ini.

"Kue? Gelato?" pertanyaan Gilang mengundang tawa seisi ruangan.

Rio menarik napas dalam menahan kesal dengan wajah polos Gilang saat bertanya, "Gu-e ge-lan-tu-ngan." ejanya.

"Gue gelantungan?" tanya Gilang memastikan.

Rio mengangguk, "Di Po-hon Ka-ret."

"Dipolet? Is that even a word?" tanya Gilang mengerutkan dahi.

"Di Po-hon Ka-ret." eja Rio lebih pelan.

"Di Pohon... Karet?" seketika Gilang mendapatkan petunjuk.

"Ka-yak mo-nyet!" seru Rio mengakhiri kalimatnya yang langsung kembali mengundang tawa penonton.

"Kayak monyet!" seru Gilang.

Rio beruntung karena Gilang memiliki otak yang cukup cerdas sehingga bisa menebak kalimat berikutnya dengan tepat, "Gabungin!" serunya.

"Gue gelantungan di Pohon Karet kayak monyet?" tanya Gilang, "Eh, itu, mah, elo yang suka gelantungan di Pohon Karet." lanjutnya tak terima.

Pohon Karet yang menjadi ikon sekolah yang lebih dikenal dengan julukan Charets itu sendiri merupakan pohon besar nan tinggi yang tumbuh tepat di jantung sekolah seluas dua hektar itu. Pohon tua peninggalan Belanda itu juga merupakan lokasi foto yang paling ditunggu siswa kelas 10 karena hanya kelas 12 yang bisa sebebas mungkin melakukan aktivitas di Lapangan Karet. Selain Pohon Karet, setiap sudut sekolah negeri yang berlokasi di Jalan Cihampelas itu juga memiliki ciri khas dan kenangannya masing-masing.

Panjang juga...

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang