20

2.5K 182 1
                                    

Bulan November yang lalu, Retha sudah menyelesaikan program KKN-nya. Ia kembali ke kampus untuk bimbingan skripsi hari ini. Mendatangi laboratorium bahasa di lantai tiga, Retha datang tepat waktu untuk menemui dosen pembimbingnya. Belum sempat melaksanakan bimbingan, Bu Eva, dosen pembimbingnya, terlihat panik ketika mendapat telepon dari seseorang. Bu Eva akhirnya hanya menyerahkan draft skripsi yang sudah direvisi pada perempuan bermata indah itu. Didapatinya tulisan tangan Bu Eva di beberapa halaman draft bab pertama dan keduanya.

"Retha!" seruan itu membuat Retha yang sedang menuruni anak tangga yang menghubungkan gedung C dengan gedung B menoleh.

Nada yang duduk di salah satu bangku biru melambaikan tangannya memintanya untuk ikut duduk di sampingnya. Perempuan dengan blus peach dengan aksen pita di dadanya itu menghampiri Nada. Duduk di sebelah perempuan berhijab itu dan menaruh tas hitamnya di sampingnya, Retha meregangkan tubuhnya. Rasa pegal sisa perjalanan satu setengah jam yang ia tempuh dari Bandung belum juga menghilang.

"Habis bimbingan, Reth?" tanya Nada.

Retha mengangguk, "Iya. Eh, lo ga kemana-mana, kan? Masih mau di sini lama?" tanya Retha yang langsung dibalas anggukan oleh Putri, "Gue ke kansas dulu bentar. Gue titip tas, ya." lanjutnya sembari mengambil dompet dari dalam tasnya.

Retha pun berjalan menuruni anak tangga untuk mencapai Kantin Sastra yang ada di bawah Bangku Biru. Sampai di kantin yang cukup ramai dipenuhi mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas, Retha langsung mengambil satu kotak susu UHT rasa coklat dari lemari pendingin dan dua bungkus Choco Pie. Membayar dengan uang pas, Retha kembali ke Bangku Biru yang salah satu bangkunya tak hanya diisi Nada. Wildan ikut duduk di sana dan Dinda di seberang mereka.

"Eh, gue duluan, ya. Anak-anak udah pada kumpul di Atep." pamit Nada saat Retha selesai dengan langkahnya menaiki tangga.

Nada memang sudah bergabung dengan HIMATEP atau kepanjangannya Himpunan Mahasiswa Atep sejak tahun pertamanya. Atep sendiri adalah nama seorang penjual di kantin belakang FIB dan dijadikan nama kantin. Kantin yang lebih dikenal dengan nama Warung Atep itu juga memilik jalan pintas yang menghubungkan area kampus Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Hukum. Maka tak jarang, mahasiswa Fakultas Hukum ikut makan di FIB karena FH tidak memiliki kantin. Tapi di dalam area kampus FH ada kafe dan area parkir mobil yang cukup luas dibanding fakultas di rumpun soshum lainnya.

"Ih, gue ikut, dong. Mau jajan." ucap Dinda meminta Nada menunggunya.

"Da-ah, Retha. Da-ah Wildan." pamit Dinda meninggalkan Retha yang belum sempat mendaratkan tubuhnya di atas bangku hanya dengan Wildan.

Selepas kepergian Dinda, Retha duduk di sebelah Wildan. Kaki yang dibalut celana jeans hitam itu disilangkan ke atas. Menusuk kotak susu UHT-nya dengan sedotan berwarna putih, Retha menikmati pagi menuju siang itu dalam hening di samping Wildan. Lelaki pecinta band indie itu juga sama diamnya. Tapi Retha tahu, ada yang ingin lelaki itu sampaikan padanya.

Retha menyodorkan satu bungkus Choco Pie-nya pada Wildan, "Mau?" tanyanya.

Wildan menoleh dan menggeleng, "No, thanks."

"Wildan." panggil Retha sambil memutar posisi duduk ke arah Wildan.

Wildan kembali menoleh.

"Gue tau lo ga baik-baik aja selama ini. Gue minta maaf banget karena ga bisa bales perasaan lo ke gue. Gue... punya janji yang harus gue tepati sama seseorang itu." ucap Retha menyuarakan isi kepalanya dengan wajah tertunduk.

"Retha." panggil Wildan dan Retha mendongakkan wajahnya, "Idih, serius amat. Gue juga udah ada yang punya kali." tawa Wildan meledak saat itu juga.

Retha masih memasang tampang bingung sampai tawa Wildan reda, "Maksud lo?"

"Gue udah ga jomblo, Retha... Gue udah jadian sama anak fakultas sebelah, adik tingkat, dan dia penghuni baru di kosan lo." jelas Wildan gemas dengan sahabatnya itu.

Retha merasa jengah dengan penjelasan Wildan, "Ih, lo nyebelin banget, sumpah! Ga cerita-cerita lagi." gerutunya memukul pelan pundak Wildan yang dibalut sweater kaos berwarna abu-abu.

Wildan hanya tersenyum, "Apa untungnya gue cerita sama lo?" candanya.

"Oke, gitu, ya? Bye, lo bukan sahabat gue lagi." Retha beranjak dari posisinya dan melambaikan tangan kanannya di depan wajah Wildan.

Wildan mengangguk-angguk paham, "Emang selama ini gue cuma dianggep sahabat sama lo, ya, Reth. Sedih juga jadi gue." puas sekali rasanya menjadikan Retha objek candaannya.

Retha menatap kesal lawan bicaranya, "Pokoknya lo harus kenalin gue sama cewek lo. Siapa namanya?" tanyanya.

"Deandra. Nanti gue kenalin kalo lo udah ga sibuk." jawab Wildan.

Retha memang tidak menunjukkan penolakannya pada Wildan. Tentu Retha juga tidak ingin kehilangan salah satu sahabatnya itu hanya karena ia menjauh. Wildan hanya menyadari bahwa ia tidak bisa menempati hati Retha yang sudah terisi oleh seseorang. Bukan pengecut, Wildan tentu sudah menyuarakan isi hatinya pada Retha. Bukan tidak berani berjuang, tapi Wildan mencoba bersikap dewasa untuk menghargai keputusan Retha. Buah kesabarannya berada di samping Retha hanya sebagai sahabat, kini ia berhasil mendapatkan perempuan yang ia suka, Deandra.

"Dia pasti beruntung dapetin lo, Wil." ucap Retha.

"Gue juga beruntung dapetin dia. Kalo engga, mungkin gue ga akan sadar kalo apa yang gue rasain ke lo itu ga begitu besar sampe mau bikin gue berjuang. Gue di situ-situ aja, Reth. Ga maju buat dapetin lo. Lo pantas untuk dapetin yang mau perjuangin diri lo." balas Wildan.

"Bijak amat, sih, Wildan..." canda Retha.

Wildan tersenyum, "Gue belajar banyak dari lo, Reth. Thank you."

"Gue juga belajar banyak dari lo. Makasih juga." balas Retha yang merasa damai di tengah-tengah kelegaan ini.

Retha hanya memiliki kisah sampai di situ dengan Wildan. Saling mengenal cukup lama, tentu akan ada banyak hal yang bisa dipelajari dari masing-masing. Ternyata pertemuannya dengan Retha, membuka jalan baginya untuk bertemu dengan Deandra. Indah Wildan rasakan ketika dirinya bisa berdamai dengan semesta.

Hayo... Sebentar lagi Retha bakal ketemu Radyan, nih! Bocoran dikit eheh...

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang