16

2.4K 195 6
                                    

Hari ini Radyan berangkat ke Jakarta menyusul kembarannya yang sudah lebih dulu ada di kediaman orang tuanya sebelum esoknya kembali ke negeri kincir angin. Keberangkat Radyan ke Jakarta berbarengan dengan Retha yang kembali ke indekosnya di Jatinangor. Radyan berpamitan pada Retha yang sudah di kamar indekosnya melalui panggilan video. Menyandarkan punggung ke bantal yang disandarkan ke tebok di samping kasur, Retha membuat posisinya senyaman mungkin untuk mengobrol panjang dengan Radyan.

"Kamu besok flight jam berapa?" tanya Retha.

"Jam sepuluh malem." Radyan menyandarkan punggungnya pada mobil yang membawanya ke kediaman orang tuanya.

"Oke..." balas Retha yang terlihat lesu di mata Radyan.

"Kamu sakit?" tanya lelaki ber-hoodie hitam itu.

"Hah? Enggak." bantah Retha dengan wajah heran karena Radyan terlihat khawatir.

Radyan tersenyum, "Sering-sering kayak gini, ya, Reth. Mau?" tanyanya.

Perempuan dengan kaus abu-abu itu mengangguk pelan dengan senyum yang selalu bisa menenangkan hati lawan bicaranya.

"Aku takut." ucap Radyan yang langsung membuat Retha memusatkan mata dan pendengarannya pada lawan bicaranya di seberang sana, "Aku takut kalo kamu nemuin sumber kebahagiaan kamu yang baru, Reth." ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya.

Retha menggelengkan kepalanya, "Aku lagi ga mau menggantungkan kebahagiaan aku dengan siapa pun, Rad. Termasuk sama kamu. Aku sama takutnya kayak kamu. Aku takut kecewa. Lebih baik begini, kan, Rad?" tanyanya dengan mata penuh harap.

Radyan hanya diam tak menanggapi pertanyaannya. Retha tidak bisa berbohong bahwa dia juga berharap bahwa Radyan adalah lelaki yang tepat untuk menjaganya kelak. Tapi ia merasa bahwa sekarang ini bukanlah waktu yang tepat untuk keduanya menjalin hubungan. Walaupun hubungan jarak jauh banyak yang berhasil, itu tidak membuat keyakinan Retha terpenuhi. Untuk saat ini, masih ada mimpi-mimpi yang keduanya harus kejar dulu masing-masing.

"Jangan jadiin aku halangan buat kamu menjalin koneksi, ya, Rad. Buka pertemanan sama siapa pun. Deket sama cewek lain juga gapapa, asal kamu kenalin ke aku. Di sini aku juga mau berteman sama siapa pun, Rad. Yang penting kita tau perasaan masing-masing. Itu udah cukup." jelas Retha menyuarakan isi kepalanya.

Radyan sempat berpesan bahwa dirinya mungkin tak akan bertemu dengan perempuan yang disayanginya itu dalam beberapa tahun ke depan. Pulang ke Indonesia juga belum tentu membuat Radyan berkesempatan untuk berjumpa dengan Retha. Hanya panggilan video inilah yang bisa ia andalkan untuk menjangkau perempuan berparas ayu itu.

Pintu kamar Retha dibuka oleh seseorang yang kemudian wajahnya Retha kenal setelah memunculkan wajah dari balik pintu, Dinda. Perhatian Retha teralihkan sesaat dari layar ponselnya. Dinda membuka pintu kamar tetangganya itu cukup lebar. Retha melepas earphone yang terpasang di kedua telinganya dan meminta Radyan menunggu sebentar.

"Jadi cari makan bareng ga? Wildan udah di depan." jelas Dinda duduk di kursi meja belajar Retha.

Saat mendengar nama Wildan disebut, tiba-tiba rasa percaya diri Radyan jatuh ke dasar saat itu juga. Siapa yang tidak hilang rasa percaya diri jika ada laki-laki lain yang akan ada setiap saat bersama perempuan yang disayangi? Walaupun baru bertemu secara langsung sebanyak dua kali, Radyan sudah bisa menangkap maksud tatapan lelaki itu pada Retha. Radyan sangat khawatir jika lelaki bernama Wildan itu akan bisa mengambil hati Retha dalam waktu dekat.

"Jadi. Bentar, ya." Retha meminta Dinda menunggunya menutup panggilan dengan Radyan.

Perempuan yang rambutnya dibiarkan terurai itu kembali memasang earphone di telinga kanannya, "Rad, nanti lagi, ya. Aku mau beli makan dulu sama Dinda."

"Oke." balas Radyan mengembalikan diri dari prasangka buruknya pada lelaki bernama Wildan itu, menutupi rasa khawatirnya.

"Hati-hati di jalan, Rad." ucap Retha sebelum mengakhiri panggilan video itu.

Menarik kardigan dari gantungan baju di belakang pintu, Retha kemudian mengunci pintu kamarnya. Perempuan yang kini mengikat rambutnya itu berjalan bersisian dengan Dinda. Saat membuka pagar rumah indekos, Retha dan Dinda tidak hanya mendapati Wildan dengan motornya tapi juga ada Salman dengan motor matic-nya.

"Gue juga minta Salman ikut soalnya biar irit ongkos. Mayan, kan, dapet tebengan gratis?" tanya Dinda yang sudah ikut duduk di belakang Salman.

Retha masih terdiam sampai Wildan menyodorkan helm hitam ke arahnya. Menerima helm dari Wildan dan memakainya ia kemudian membonceng Wildan. Retha membonceng Wildan seperti saat dirinya membonceng driver ojek online, jarak satu jengkal membentang di anatara Wildan dan Retha. Tak ada obrolan di antara mereka berdua selama perjalanan. Sampai di sebuah kedai makanan yang sering Retha dan Dinda datangi bersama, Retha turun dari boncengan Wildan. Ia menyerahkan helm berwarna hitam itu untuk digantung di motor lelaki itu.

Retha reflek bertanya saat mendapati perbedaan dalam penampilan Wildan, "Lo potong rambut, Wil?"

Pemuda dengan kemeja flanel bermotif kotak-kotak itu mengacak rambutnya dengan jemari, "Udah biasa rambut pendek dan ternyata ga enak juga punya rambut panjang. Ribet keramasnya." balasnya.

Retha tertawa kecil, "Lo keliatan lebih rapih kalo kayak gini." celetuk Retha sebelum menyusul Dinda dan Salman masuk ke dalam kedai.

Retha hanya tidak tahu bahwa senyuman dan kalimat sederhananya itu baru saja membuat lawan bicaranya itu berdebar. Wildan menatap punggung Retha yang menjauh sembari tersenyum. Retha memang tidak terlalu terbuka dengan lingkungan barunya tapi entah kenapa Wildan dengan mudahnya menaruh hati untuk perempuan yang dikenalnya sejak empat bulan yang lalu itu.

Dinda dan Salman sudah duduk bersebelahan di sebuah meja panjang di kedai yang cukup ramai di jam makan siang seperti ini. Retha memilih duduk berhadapan dengan Dinda. Tak lama, Wildan menyusul duduk di sebelahnya. Selepas menyebutkan pesanan, ternyata Retha lebih tertarik dengan benda pipih berwarna putih di genggamannya itu daripada ikut ke dalam obrolan yang dengan susah payah Dinda ciptakan.

Wildan menegur, "Isi hp lo lebih menarik, ya, daripada ngobrol sama kita?"

Retha tertegun kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku kardigan coklatnya. Wildan benar, jika ia terus menarik diri dari obrolan ia tidak akan segera menemukan kenyamanan untuk tinggal di sini. Ketiga orang di lingkarannya inilah yang akan membantu setidaknya untuk bertahan hidup di lingkungan yang belum bisa dianggap nyaman oleh Retha. Perempuan yang sedang ikut tertawa lepas bersama ketiga teman barunya itu siap memulai pertemanan di lingkungan barunya. Retha hanya tidak sadar jika ada hati yang ikut berbahagia saat dirinya mulai mau membuka diri ke lingkungan asingnya itu.

Malam. Aku baru aja publish buku baru yang satu universe sama 294 Days dan ada bocorannya di chapter sebelumnya, Yournalistic. Kalian bisa cek di works aku. It means, buku ini juga akan segera menemukan akhir ceritanya. Hope you like it!

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang