03

5.1K 341 3
                                    

Keluar dari ruangan yang begitu mencekam itu, semua menghela napas. Termasuk Retha. Nilainya begitu pas untuk mendapat predikat B untuk mata kuliah ini. Setidaknya ia tidak harus mengulang basic grammar tahun depan bersama adik tingkat. Berjongkok di depan ruangan, Retha memakai kembali sepasang sepatu berwarna ungunya. Di sebelahnya, Dinda sedang meratapi nilainya. Rekannya itu harus mengulang mata kuliah ini tahun depan.

"Gapapa, Din." Retha merangkul pundak perempuan yang lebih pendek darinya itu, "Lo cukup ngulang taun depan aja."

"Aamiin..." lirih Dinda.

"Gerlam, yuk. Jajan dulu sebelum balik Bandung." ajak Retha pada Dinda yang masih berduka.

Dinda hanya mengangguk lemas mengikuti Retha yang membawa dirinya menuruni anak tangga bersama mahasiswa lainnya. Rombongan kelas Pak Tian itu berjalan bersamaan keluar dari area fakultas. Walaupun fakultas mereka cukup dekat dari gerlam atau yang merupakan siangkatan dari gerbang lama, mereka lebih memilih berkeliling kampus terlebih dahulu dengan kendaraan kampus, yaitu odong-odong.

Karena mereka selesai kelas pukul empat, akhirnya odong-odong yang mereka naiki hanya berisi mereka. Odong-odong jurusan IPS berhenti di gerlam, Retha dan Dinda turun bersamaan. Ternyata tujuan yang lainnya pun sama, yaitu gerlam. Akhirnya Retha bersama teman-teman sekelasnya itu berjalan beriringan menuju tempat yang menjual berbagai macam makanan dan minuman di sepanjang jalan itu. Mereka berpisah karena tujuan gerobak mereka berbeda.

Suasana gerlam sore itu masih ramai dengan mahasiswa yang masih bertahan melakukan kegiatan mereka. Entah untuk sekedar bersantai atau aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Nyaman sebenarnya tapi entah kenapa Retha belum tergerak hatinya untuk mengikuti BEM atau UKM tertentu. Mungkin karena ego besar yang sudah terbentuk dalam dirinya. Ingat bahwa Retha adalah salah satu bagian dari panitia inti pensi sekolahnya yang bisa terbilang cukup besar. Sehingga ketika melihat acara-acara kecil yang diadakan jurusan, fakultas, ataupun universitas, Retha sedikit enggan apalagi harus menghabiskan akhir pekannya di Jatinangor.

"Lo mau beli apa, Din?" tanya Retha yang sejujurnya bingung mau membeli apa.

Mata Dinda menerawang ke toko-toko yang berjajar di sepanjang gerlam, "Gue mau go milk aja. Lo mau beli apa?" tanyanya menoleh ke arah Retha.

"Samain aja, deh. Sama telor gulung kali, ya." gumam Retha melirik ke arah penjual telur gulung yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Dinda berjalan terlebih dahulu mendekati gerobak penjual susu dengan berbagai rasa itu, "Aku mau cheese cake satu, ya." kemudian ia menoleh ke arah Retha yang baru saja berdiri di sampingnya, "Lo mau rasa apa, Reth?"

Retha melihat daftar menu yang tertempel di gerobak, "Hmm... matcha aja satu."

"Lo balik ke Depok kapan, Din?" tanya Retha di sela-sela waktu menunggunya.

"Sabtu ini kayaknya. Jumat masih ada UAS agama di kelas." jawabnya merutuki nasibnya yang tak seberuntung Retha.

Retha mengangguk-angguk, "Semangat, deh."

Mas-mas penjual susu berbagai rasa itu menyerahkan pesanan mereka. Kedua teman sekelas itu kemudian berpisah. Di tengah-tengah mahasiswa yang masih berlalu-lalang, Retha berjalan melawan arus. Ketika banyak mahasiswa yang berjalan menjauhi kampus, ia malah berjalan kembali ke arah kampus. Halte bis damri ada di depan kampus. Ya, dia selalu menggunakan bis ketika pulang ke Bandung atau kembali ke Jatinangor. Retha pun menunggu kedatangan bis berwarna biru itu di depan halte yang cukup ramai sembari menikmati matcha milk-nya.

Ketika jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul empat lebih empat puluh lima menit, bis bernomor tujuh yang akan membawanya ke kampus Dipatiukur itu akhirnya tiba. Bersama calon penumpang lainnya, Retha menaiki bis itu kemudian mencari tempat duduk yang masih kosong. Perempuan yang kini rambutnya dikuncir kuda itu lebih nyaman duduk sendirian dan di dekat jendela. Memasang earphone di telinganya, Retha memainkan musik melalui aplikasi streaming musik dari ponselnya.

Perjalanan yang bisa ditempuh hingga dua jam itu biasa Retha gunakan untuk tidur. Totebag berisi barang bawaannya ia pangku di atas pahanya. Ponselnya ia genggam selama perjalanan. Saat bis sudah keluar di tol Moh. Toha, Retha mengembalikan kesadarannya. Perjalanan panjang yang masih harus ditempuh Retha gunakan untuk menikmati panorama kemacetan kota di senja hari. Jam seperti ini adalah jam pulang orang kantor yang tentunya membuat perjalanan Retha terhambat. Situasi seperti ini sudah biasa ia lewati.

Langit semakin gelap. Bis yang masih bersisi enam penumpang ditambah Retha akhirnya berhenti di depan kampus. Melepas earphone dari telinganya, Retha berdiri dari duduknya. Memberikan lembaran rupiah berwarna ungu dan mengucap terima kasih kepada supir bis, Retha pun turun dari bis. Melalui pesan singkat, Rakha sudah dalam perjalanan menuju lokasinya saat ini. Melihat motor kesayangan kakaknya itu melintas di seberang sana, Retha turun dari trotoar.

"Mau mampir kemana dulu, ga?" tanya Rakha sembari menyerahkan helm pada adiknya.

"Beli McD dulu, yuk, Bang." pinta Retha yang sudah duduk di belakang Rakha.

Rakha akhirnya melajukan motornya menuju Dago. Sampai di restoran cepat saji itu, Retha terdiam. Tempat ini juga menyimpan kenangan dirinya bersama Radyan. Bohong jika Retha tidak pernah memikirkan lelaki yang pernah singgah di hidupnya itu. Belum lagi ia masih sering bertemu dengan Vera, ibunda Radyan. Kadang perempuan yang masih terlihat awet muda itu meminta dirinya menemani untuk berbelanja kebutuhan bulanan. Retha dengan senang hati menemani.

"Heh, bengong. Ayo, mau beli apa?" Rakha menyenggol lengan adiknya yang terdiam menatap bangunan yang baru saja selesai direnovasi itu.

Enjoy!

Love, Sha.

Make it RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang