Jangan di tiru adegan yang ga baik ya!;)
Arga menjejakan sepasang kakinya dengan perlahan di atas hamparan rumput-rumput hijau yang terlihat cukup terawat dan sejuk di pandang mata.
Langit di atas sana cukup cerah dengan warna birunya yang menarik, seolah memberi tanda bahwa ada seseorang yang memang sedang menunggu kedatangannya hari ini.
Beberapa pohon besar dengan hembusan angin yang tenang menambah suasana kian sejuk untuk Arga rasakan ketika melewati beberapa rumah-rumah orang yang tidak di kenalinya.
Langkah kakinya berhenti pada rumah yang di tuju. Sesaat, Arga merasakan sesuatu menghimpit dadanya, terasa sedikit sesak juga sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan mudahnya ketika menatap gundukan tanah yang di tumbuhi rumput hijau yang terawat dengan baik. Disisi-sisi gundukan tanah ada batas berbentuk persegi panjang berwarna putih yang membingkai indah rumah terakhir seseorang yang ia rindukan.
Arga setengah berjongkok, "apa kabar lo, bang?" Serak suara Arga, akibat tenggorokannya yang kering.
Ada jeda beberapa saat setelah kalimat pertama berhasil ia ucapkan. Arga meletakan bucket bunga tulip berwarna putih disana.
"Bokap sama nyokap udah nengokin lo duluan ya?" Bersikap seolah orang yang diajaknya bicara benar-benar ada disana, Arga melontarkan pertanyaan yang jelas ia sudah tahu jawabannya, melihat dari satu ikat bucket bunga yang sama sudah terletak dengan rapi di atas gundukan tanah itu.
"Happy birthday ya bang. Sorry gue cuma bawa ini doang. Abisnya gue bingung mau bawa apa lagi kesini." Tidak peduli celananya akan kotor oleh tanah, Arga duduk dengan santainya yang hanya beralaskan selembar daun kering.
"Mau bawa kue, gue yakin lo gak akan bisa habisin. Yang ada gue malah rugi." Kekehnya, "mau bawa hadiah yang lain, gue ga yakin lo akan gunain. Kalo gue bawa komik kesukaan lo, gue ga jamin lo bisa baca kaya dulu. Iya,'kan?" Lagi, Arga terkekeh. Berusaha agar kekehan itu terdengar sewajar mungkin.
Hening. Kekehan Arga sebelumnya tidak terdengar lagi.
"Gue minta maaf bang," suara Arga berubah parau, "udah setahun lebih, dan gue ga bisa maafin diri gue sendiri, karena ulah gue lo yang ada disini. Seharusnya gue, tapi lo mau berkorban untuk gue yang kurang ajar begini. Thanks banget." Ucapnya dengan sangat tulus.
Arga tidak lagi mengeluarkan suaranya, kini ia duduk tenang di sebelah rumah terakhir saudaranya. Meskipun sekarang fisik cowok itu tidak nyata terlihat, Arga yakin, dia ada disana dan sedang duduk bersama Arga mendengar semua ucapannya sejak tadi.
"Gue ga bolos bang, sekolah cuma ada kegiatan lomba doang, jadi biarin gue disini lebih lama untuk nemenin lo." Jelas Arga.
Arga duduk dengan dua kakinya tertekuk, satu tangannya usil memainkan bunga rumput yang ada di hadapannya sambil melontarkan kalimat-kalimat yang ia tujukan untuk kakak cowoknya.
Getaran ponsel di saku celananya yang memaksa kegiatan itu berhenti sejenak, lalu ketika ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Arga mengabaikan panggilan itu begitu saja, membiarkan ponselnya bergetar sampai akhirnya berhenti sendiri.
Saat ini, ia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
Getaran ponselnya memang berhenti untuk sesaat, namun itu tidak berlangsung lama karena di detik selanjutnya, ponsel itu bergetar kembali. Dan Arga juga kembali melakukan hal yang sama, mengabaikan panggilan itu.
Untuk kesekian kalinya, hal tersebut terus terulang. Hingga Arga merasa jengkel kemudian berdecak kesal.
"Temen gue bang, absurd banget emang anaknya." Lapornya, melirik sekilas ke arah gundukan tanah di hadapannya, kemudian beralih ke arah layar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Syndrome
Teen FictionMungkin karena terlalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya sejak kecil, ia tumbuh menjadi cewek angkuh yang segala kemauannya harus di turuti. Dia, Sia Queena. Cewek pengidap 'princess syndrome' yang berwajah super cantik, kulit putih bersih bak po...