57 - Our times

1.9K 159 3
                                    

Ada perasaan lega luar biasa yang Queen rasakan setelah bertemu dengan Karina—Ibu kandungnya sendiri. Meskipun ia masih merasakan pedih yang membekas di hatinya, karena mengingat wanita itu memang berniat untuk menyingkirkan Queen dari kehidupannya.

Semua orang tentu saja setuju, bahwa luka hati tidak akan mudah sembuh dalam waktu hitungan detik apalagi hari. Lukanya tidak kentara namun sakitnya begitu terasa luar biasa, sampai banyak yang membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun untuk melupakan sakit itu.

Queen akan melupakan wanita itu, tapi tidak dengan perbuatan yang ia lakukan padanya. Queen tidak akan pernah menganggap Karina sebagai wanita yang telah melahirkannya, karena tentu saja wanita itu tidak pantas disebut seorang Ibu. Seorang Ibu tidak akan memiliki naluri sejahat itu.

Waktu akan memudarkan kenangan yang Karina tinggalkan untuknya, namun tidak dengan luka yang ia berikan. Waktu hanya akan mampu membuat Queen merasa terbiasa dengan rasa sakit dan kenangan yang Karina tinggalkan untuknya.

"Hai, Pa!" Queen melambaikan tangannya pada seseorang diseberang sana ketika panggilan video sudah tersambung.

Papanya membalas dengan senyum lebar, namun sorot matanya mengisyaratkan hal berbeda. Meskipun mereka tidak bertemu langsung, namun Queen mampu mengerti arti tatapan itu.

"I'am okay...," ucap Queen meyakinkan Papanya, "Papa ga perlu merasa bersalah kaya gitu."

"Gimana kabar Papa disana? Mama dan Papa sehat-sehat aja kan?"

"Iya, Papa dan Mama disini baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu disana, sayang?"

"Queen baik-baik aja," Queen mengambil snack kentang di atas meja kecil yang ada dihadapannya, "see? Arga baik banget, hidup Queen lumayan terjamin disini." Kekehnya di akhir kalimat.

Queen setengah memutar kepalanya, kemudian mendapati apa yang ia cari. Arga ada di belakang, dengan jarak kira-kira sekitar lima langkah darinya yang sedang memainkan alat musik kesayangannya.

"Anaknya ada disana, lagi latihan main piano untuk pertunjukan prom nanti." Queen mengerakan tangannya yang mengengam benda pipih itu ke arah Arga.

"Arga! Say hi ke Papa gue." Arga mengalihkan perhatiannya dari tuts piano yang sedang dimainkan, kemudian memberi senyum lebar ke arah Queen yang sedang mengarahkan layar ponsel kepadanya.

Papa Queen terkekeh sesaat, entah bagian mana yang dianggap lucu olehnya. Namun Queen tetap menikmati tawa itu beberapa detik lamanya sampai mereda.

"Kamu ga ada macem-macem kan sama Arga? Atau Arga ga macem-macemin kamu,'kan sayang?" Pertanyaan Papanya membuat Queen tersedak snack kentang yang hampir tertelan.

"Engga, Pa. Arga bukan tipe cowok yang suka cari kesempatan dalam kesempitan. Dia banyak bantu Queen selama tinggal disini." Wajah Queen dihiasi senyum yang manis, "termasuk pergi ke panti asuhan untuk cari informasi tentang wanita yang ada di masalalu Queen." lanjutnya, kini wajahnya berubah menjadi lebih serius.

"Queen udah ketemu wanita itu." Terang Queen pada Papanya, yang membuat ekspresi wajah sang Papa ikut berubah.

"L-lalu?"

Queen mengedikan bahu, merasa malas untuk menceritakan ulang dan harus mengingat setiap pembicaraan mereka sebelumnya yang menguras tenaga Queen untuk menahan emosi.

"Dulu, Papa dengan angkuhnya berniat memberikan wanita itu sejumlah uang jika suatu saat nanti dia memintamu kembali. Namun sekarang Papa tidak berdaya. Kamu berhak untuk memilih, jika ingin hidup bersama orang tua kandungmu sendiri, maka Papa akan mengizinkanmu."  Ucap Papanya dengan suara rendah.

Princess SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang