Flashback...
Suara gemuruh terdengar begitu keras dan berkali-kali terulang, kilatan di luas langit malam yang gelap membuat Ami—wanita pemilik panti asuhan dengan kisaran umur sekitar 40 tahun itu berlari sedikit tergesa untuk menutup gerbang besi berwarna coklat tembaga di depan sana.
Ami menghalangi kepalanya dengan tangan, karena hujan ternyata sudah turun walau masih sebatas rintik halus. Ia menunduk, ingin mengunci gerbang tersebut dengan gembok yang sudah ada di tangan.
Hujan menjadi semakin deras, membuat Ami semakin bergerak cepat untuk menyelesaikan aktivitasnya.
Selesai. Ami sudah selesai memasang gembok itu pada pintu gerbang coklat tembaga. Kini tujuannya tentu saja kembali ke dalam bangunan panti asuhan yang sudah ia dirikan sejak lima tahun yang lalu.
Ketika Ami akan membalikan tubuhnya dan berniat berlari, sesuatu menyita perhatiannya pada pohon besar yang berada sekitar satu meter jaraknya. Bukan pohon besar yang biasa menjadi peneduh jalan yang membuat Ami sampai membatalkan niatnya untuk beranjak, namun seseorang yang sedang berdiri disana, menoleh kanan-kiri dengan raut wajah takut dan ragu seraya membawa bayi kecil yang menangis histeris di gendongan.
"Mau apa wanita itu?" Tanya Ami pada sendiri.
Tubuh dan pakaian Ami sudah semakin basah karena hujan, namun hal tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk masih setia berdiri sambil memerhatikan wanita yang memakai kain berwarna merah darah di kepalanya.
Wanita itu setengah berjongkok, kemudian mengulurkan tangannya—terlihat seperti akan meletakan bayi dalam gendongan yang terbalut kain seadanya di bawah pohon rindang dengan batang yang sudah menua.
"Hei! Apa yang sedang kamu lakukan disana?!" Teriak Ami. Tentu saja ia peka dengan situasi saat ini.
Wanita itu terlihat sedikit terperanjat, kemudian menoleh ke arah suara Ami yang meneriakinya dengan ekspresi ketakutan.
"Kamu ingin meninggalkan bayi malang itu disana?!" Tanya lagi Ami, tangannya bergerak cepat untuk membuka kembali gerbang yang semula sudah terkunci rapat.
Ami setengah berlari agar lebih mendekat, menatap wanita yang kembali membawa bayi yang masih memerah itu dalam gendongannya. Sepasang matanya mengerjap beberapa kali, guna memastikan wanita yang sedang berdiri dihadapannya adalah wanita yang ia kenal.
"Karina?"
Wanita yang di panggil Karina kelimpungan, bertingkah layaknya maling yang sedang tertangkap basah.
Ami mengenal Karina karena wanita berusia dua puluh tahun itu tinggal di dekat panti asuhannya. Ami juga sering datang berkunjung untuk sekadar membagi makanan yang ada di panti asuhan.
Selama Ami mengenal Karina, Ami menilai bahwa Karina adalah wanita yang tegar, pekerja keras, dan baik tingkah lakunya. Selama ini Karina hidup sendirian karena kedua orang tuanya telah meninggalkan Karina lebih dulu menghadap Tuhan akibat kecelakaan mengenaskan.
Sejak setahun terakhir, ia tidak pernah menemukan Karina lagi. Rumahnya selalu kosong tanpa penghuni, namun kata tetangga disekitar sana, Karina masih tinggal di tempat yang sama namun lebih sering pulang di waktu tengah malam.
"Itu bayi siapa?" Tanya Ami pada akhirnya.
Hujan semakin deras, namun Karina masih tetap memilih bungkam. Jika terus begini, bayi yang ada dalam gendongan Karina akan kedinginan karena angin yang berhembus kencang dan tetesan air hujan yang jatuh dari daun-daun rindang di atas pohon.
"Kamu ikut Ibu masuk ke dalam dulu." Perintah Ibu Ami, menatap Karina seolah tidak boleh dibantah.
Ami melangkah memasuki pekarangan panti asuhan, diikuti dengan langkah ragu dari Karina di belakangnya. Sesekali, Ami menoleh untuk memastikan bahwa Karina masih berada di belakangnya untuk mengikuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Syndrome
Teen FictionMungkin karena terlalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya sejak kecil, ia tumbuh menjadi cewek angkuh yang segala kemauannya harus di turuti. Dia, Sia Queena. Cewek pengidap 'princess syndrome' yang berwajah super cantik, kulit putih bersih bak po...