47 - Yes, i'll be yours

2.2K 170 15
                                    

"Gue ga paham lo bilang apa."

Jaraknya dengan Arga menjadi salah satu alasan ia terlihat seperti orang bodoh sekarang. Konsentrasinya terkikis karena wajah tampan cowok itu terlalu dekat dengan wajahnya.

"Please, be my girl." Ucap Arga dengan nada suara yang rendah, terkesan memaksa. Membuat degup jantung Queen semakin menggila dari sebelumnya.

"Arga lo bercandaan ya? Garing banget." Queen mendorong dada Arga, namun tenaganya tentu saja tidak seberapa untuk berhasil menggeser tubuh cowok itu agar menjauh.

"Enggak, gue serius Queen." Sepasang mata Arga seperti mengunci Queen dalam pandangannya.

"Just be my girl. Supaya gue punya alasan yang kuat kenapa gue khawatir sama lo. Supaya gue punya alasan yang jelas, kenapa gue ga suka liat lo pake pakaian kaya gini. Gue sayang sama lo, dan gue ga mau orang yang gue sayang tubuhnya jadi konsumsi gratis cowok-cowok brengsek di luar sana." Lanjut Arga berkata, berusaha memberikan ekspresi serius pada Queen.

"Arga—"

"Gue ga lagi bercanda. Gue serius. Gue lebih dari sadar dengan apa yang gue lakuin sekarang."

Ada jeda beberapa saat, sebelum akhirnya Queen melengkungkan garis indah di wajahnya, "yes, i'll be yours."

Penantian Queen berakhir dengan membahagiakan, keinginannya untuk menjadi kekasih Arga menjadi nyata bukan hanya mimpi belaka. Jadi, tidak ada yang perlu dipikirkan berkali-kali lagi untuk menerima Arga.

Malam ini, akan menjadi salah satu hal luar biasa yang tidak akan Queen lupakan selama hidupnya. Sosok Arga—tempat pertama kali ia menjatuhkan hatinya telah disambut hangat oleh pemilik wajah tampan itu.

Tidak ada ketakutan, tidak ada kegelisahan, tidak ada perasaan negatif yang mampu mengusiknya lagi sekarang. Ada Arga disampingnya, Arga telah menjadi kekasihnya, Arga akan selalu bersamanya untuk melindunginya.

"Thank you." Arga melempar senyum yang paling manis, senyum yang pertama kali ia tunjukan dihadapan Queen dan hanya untuk Queen—cewek yang kini menjadi kekasihnya.

***

Hari minggu pagi yang cerah, Queen baru terbangun dari tidur lelapnya sekitar pukul sepuluh pagi. Jika saja sinar matahari tidak lancang masuk menyelinap melalui sela-sela ventilasi kamarnya dengan cahaya menyilaukan yang membelai hangat kelopak matanya, mungkin saja Queen masih berada dalam dunia mimpi yang terlalu indah untuk ditinggalkan terlalu cepat.

Queen terduduk lemas diatas ranjang, mengumpulkan tenaganya untuk beberapa saat dengan diam menatap kosong ke arah jendela besar yang setengah tertutup gorden.

Tiba-tiba ia menyunggingkan senyum diwajahnya dengan sempurna, lalu di detik selanjutnya ia menutup wajah khas bangun tidurnya dengan bantal persegi yang ada di dekatnya.

Kejadian semalam tentu saja masih menempel di kepalanya. Rasa berdebar di dadanya ketika wajah Arga kemarin malam berada pada jarak yang terlalu dekat dengannya masih tertinggal bekasnya sampai sekarang; tentang tatapan lekat yang Arga berikan saat menatapnya dan tentang semua kalimat yang cowok itu ucapkan hingga hampir membuat tubuh Queen meleleh seperti lilin.

Queen mengangkat wajahnya, kemudian ia mencubit pipi kanan dan kirinya secara bergantian, dengan perasaan heran Queen mengulangi cubitan di bagian yang sama, namun tetap saja tidak terasa hasilnya.

"Kok ga sakit? Apa gue cuma mimpi?" Senyumnya memudar perlahan.

"Apa gue perlu minum air dulu?" Queen setengah berbalik, ingin mengambil gelas diatas nakas yang berisi air, namun sayangnya gelas itu telah kosong. Ia lupa bahwa pada tengah malam sempat terbangun dan menengak air di dalam gelas itu sampai kandas.

Queen berdecak kemudian meregangkan otot-otot tubuhnya sebelum beranjak dari zona nyamannya di atas ranjang. Bergerak dengan malas, ia berjalan sambil membawa gelas kosong yang semula terletak di atas nakasnya.

"Arga?" Queen mengernyit, memastikan sosok yang sedang duduk di sofa ruang tengah rumahnya itu memang benar Arga.

Cewek itu kini berdiri dihadapan Arga dengan penampilan khas baru bangun. Rambut yang kusut, baju tidur berantakan, dan mata sayu.

"Ini hari minggu kan? Terus kenapa lo disini pagi-pagi?"

"Niatnya mau ngajak pacar jalan. tapi sampe sini ternyata lo belum bangun, gue nunggu sampe bosen disini."

Queen berusaha menahan senyum, "lo bisa cubit gue sebentar aja?" Ia mengambil posisi duduk di sebelah Arga.

Tanpa menjawab, Arga menuruti permintaan Queen untuk mencubitnya. Dengan sangat pelan dan begitu lembut, ia mencubit lengan cewek itu.

"Kenapa ga sakit? Apa bener gue cuma mimpi? Tadi gue juga udah coba sendiri cubit pipi gue, tapi hasilnya sama, ga ada rasa sakit sama sekali." Arga dibuat sangat gemas oleh ucapan Queen.

"Cuma mimpi tentang?"

"Kalo gue sama lo pacaran." Sahutnya, berusaha berekspresi seperti biasa namun tidak bisa. Wajahnya terasa menghangat, dan hanya Arga yang bisa melihat rona merah di kedua pipinya saat ini.

"Gue ga yakin lo cubit pipi sendiri pake tenaga, jelas ga terasa sakit sama sekali."

"Berarti lo cubitnya ga pake tenaga juga dong?"

Arga mengangguk, ia menyungingkan senyum kecil, "menurut gue ada cara lain yang lebih ampuh supaya lo percaya kalo ini bukan mimpi."

"Caranya?"

Arga menjatuhkan satu kecupan singkat pada pipi kanan Queen yang memerah sejak tadi. Tanpa permisi, ia meninggalkan jejak basah itu pada wajah Queen yang begitu mengemaskan saat ini.

"Lo lancang, berengsek."

"Hm, rasanya lebih lancang lo. Inget waktu malem lo cium gue di arena?"

"Arga!" Queen memekik, karena Arga menarik tubuhnya hingga condong menjadi lebih mendekat dengan tubuh cowok itu.

"Jadi, gimana?"

"Apanya yang gimana?" Queen berusaha menjauh, karena sadar bahwa terlalu dekat dengan Arga tanpa jarak yang seharusnya, membuat ia akan terkena serangan jantung di usia dini.

"Mau ga, diajak jalan sama gue?"

"Jauhan dulu!"

"Jawab dulu."

Arga menunggu Queen menjawab, pandangannya tidak teralihkan sama sekali dari Queen yang sedang menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya agar pandangan mereka tidak saling bertemu.

"Queen."

"Apa mau gue panggil sayang?" Arga gemas, dan ia semakin senang menjahili Queen yang sedang salah tingkah.

"Mau!" Queen mendongak dengan malu-malu, membalas sorot mata Arga dengan sekilas lalu setelah itu secepat kilat ia kembali merubah ekspresi wajahnya menjadi angkuh seperti biasa.

"Mau yang mana nih? Di panggil sayang?"

"Lo jelas tau gue ga jawab yang bagian itu."

Arga terkekeh, "yaudah sana mandi, jangan lupa keramas. Rambut lo bau apek." Arga hanya bercanda, namun Queen sungguh kesal bukan main.

Satu bantal persegi melayang ke arah Arga, "mana ada ceritanya rambut gue bau apek!"

👑👑👑

Tbc.

Terimakasih ya, karena sudah mau meluangkan waktumu untuk membaca cerita ini💖💖



See you.

Princess SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang