7. Jilbab dan Akhlak

4.2K 313 13
                                    

Jangan jadikan ketidaksempurnaan akhlak sebagai alasan untuk tidak menutup aurat. Baik tidaknya akhlak ditentukan oleh setiap manusia, namun menutup aurat merupakan hal wajib bagi setiap manusia.

~Sakinah

.

.

.

"Mas, ntar anterin gue yak." Kanaya mulai menyantap nasi goreng buatan bundanya.

Kevan yang sedang memainkan ponsel langsung meletakkannya di meja dan menatap adiknya. "Emang motor lo kemana?"

Kanaya memutar kedua bola matanya malas, "kan gue udah bilang kalo motor gue tuh bocor. Sekarang masih di bengkel."

Kevan manggut-manggut, "kalo gue ogah nganterin gimana?"

"Bilang gitu sekali lagi, fiks gue ogah sekolah!" ancam Kanaya.

"Bodo. Pokonya gue ogah nganterin."

Kanaya mengambil centong nasi dan mengangkatnya. "Bilang lagi! Gue lempar pake centong ini ntar!"

"Emangnya gue takut?"

"BUNDAAAAAAA MAS KEVAN BIKIN GARA-GARA," teriak Kanaya memanggil Bundanya yang kini masih ada di dapur.

"Dasar tukang ngadu!" Kevan menatap tak suka.

"Bodo."

Tak lama kemudian terlihat Bunda mereka menuju ruang makan dengan tergopoh-gopoh, bahkan tangan kanannya masih memegang alat penggorengan. Menyadari Bundanya telah datang Kanaya langsung menjulurkan lidahnya kearah Kevan bermaksud meledek.

"Ini ada apa sih? Tiap hari berantem mulu gak ada kalem-kalemnya. Kalo masih berantem lagi Bunda bawa kalian ke ring tinju, biar sekalian gelud disana. Kalo perlu Bunda sewain wasit sekalian!" omel Bunda mereka. Arina— Bunda mereka memang sudah kesal menghadapi kedua anaknya yang selalu bertengkar ketika sedang disandingkan.

"Mas Kevan duluan tuh, Bun." Kanaya mengerucutkan bibirnya.

"Kok gue sih? Lo duluan yang mulai," protes Kevan.

"Udahhh!! Kalo gini terus kapan selesainya?" Arina berkacak pinggang, "Naya, ini sebenarnya ada apa?"

"Mas Kevan tuh Bun, masa gak mau nganterin Naya ke sekolah. Kan motor Naya masih di bengkel, Bun," adu Kanaya.

"Bener itu Van? Kamu gak mau nganterin adikmu ke sekolah?" tanya Arina memastikan.

"Kevan kan cuma bercanda, Bun," jawab Kevan membela diri.

Arini menghela napas pelan, "Naya, kamu itu sebentar lagi lulus SMA. Tapi kenapa tingkahmu masih kaya anak kecil? Harusnya kamu itu tambah dewasa, jangan kaya gini."

Kanaya menunduk,

Arini beralih menatap putra sulungnya, "kamu juga, Van. Kamu itu udah kerja, udah besar. Kenapa masih jahilin adikmu? Harusnya kamu juga ngerubah sikap. Jangan kaya anak kecil," jeda sekian detik, "kalian ini loh, udah besar. Tapi kok tingkahnya masih kaya anak kecil. Suka berantem. Harusnya kalian itu akur, bukan malah kaya musuh."

"Maaf, Bun," ucap Kanaya dan Kevan seraya bersamaan.

"Jangan diulangin lagi," peringat Arina.

"Nggak janji, Bun."

Sakinah [Sudah Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang