22. Ternyata Cocok

3.8K 283 32
                                    

Pada dasarnya, manusia haus akan pujian. Padahal mereka tahu bahwa segala pujian hanyalah milik Allah, pencipta semesta alam.

~Sakinah

.

.

Happy Reading💕

Adanya Tasya di rumah memberikan pengaruh baik terhadap Kanaya. Buktinya, Kanaya yang biasanya baru bangun setelah adzan subuh berkumandang kini sudah bangun sebelum subuh.

Selepas salat, Kanaya dan Tasya tidak melanjutkan tidurnya melainkan ikut terjun ke dapur untuk membantu Arina memasak. Arina yang melihat keduanya pun sempat kaget, karena Kanaya memang jarang sekali membantunya.

"Ternyata bantuin Bunda masak itu enak, ya? Andai aja Tasya bisa bantu-bantu Mama kaya gini di rumah, Tasya rela deh setiap hari bangun sebelum subuh." ujar Tasya sembari memotong wortel. Rencananya mereka akan memasak sayur sop.

Arina memang menyuruh Tasya untuk memanggulnya dengan sebutan Bunda karena ia sudah menganggap Tasya seperti putrinya sendiri. Kasihan anak itu, dia hanya menginginkan kasih sayang dari orang tuanya.

"Suatu saat pasti bisa kok, nanti kamu bisa bantuin Mama kamu masak." Hibur Arina.

"Iya, Sya, sekarang lo banyak berdoa aja ya." sahut Kanaya yang kini sedang mengulek sambal tomat untuk pendamping Ayam yang masih digoreng oleh Arina.

"Minta doanya ya."

Kanaya mengangguk, beberapa detik kemudian gadis itu mengusap keringat yang ada di dahinya menggunakan lengan. "Ya Allah, Bun, bahu Naya capek banget gara-gara ngulek. Padahal ini belum halus bumbunya, Naya udah keringetan aja."

Arina terkekeh. "Ya itu karena kamu jarang bantuin Bunda. Kalo udah terbiasanya mah nggak kerasa capek. Itu nguleknya harus sepenuh hati loh ya, nggak boleh minta digantiin Tasya soalnya nanti rasanya beda."

Dahi Kanaya mengerut. "Ngulek juga harus pake perasaan, Bun? Apa hubungannya?"

"Kalo nguleknya sambil cemberut, nanti rasanya nggak enak." celetuk Tasya.

Arina tertawa. "Betul tuh."

"Hufft, gini amat jadi cewek. Harus bisa pendidikan juga harus bisa soal urusan rumah tangga. Aku tuh nggak kuat.." keluh Kanaya.

"Itu kan udah kodrat, Nay. Seorang perempuan itu harus berpendidikan karena nantinya dia akan menjadi Madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalo si Ibu nggak pinter nanti anaknya gimana?" Arina membalik ayam gorengnya. "Dan soal rumah tangga, itu udah kewajiban istri untuk melayani suami. Contohnya masak, kalo dari sekarang kamu nggak belajar nanti kalo udah nikah gimana dong? Masa tiap hari mau beli le warung terus? Yang ada suamimu nanti yang nikahin Mbak-Mbak warungnya."

"Tuh Nay, dengerin!"

Bibir Kanaya mengerucut. "Lha kan Naya mau bangun rumah tangga bukan rumah makan."

"Ya memang, tapi masak nggak mau masakin buat suami? Membuat suami senang itu pahala, pasti rasanya seneng banget kalo kamu bisa masakin yang enak buat suamimi nanti. Lagipula masak sendiri itu lebih hemat, sebagai istri kamu juga hafus bisa mengatur keuangan. Jangan boros. Kalo dikasih uang belanja jangan dihabisin, beberapa ditabung. Jadi nanti kalo sewaktu-waktu butuh uang, kamu bisa ambil tabungan. Soal makanan itu kan nggak perlu mewah, toh nanti rasa enaknya cuma di lidah, habis itu ya udah. Hilang."

Sakinah [Sudah Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang