Perang dingin

5K 179 2
                                    

   Hari ini Andi dan Keisya telah berada di Grand Mall Makassar untuk membeli beberapa buah tangan untuk keluarga maupun sahabatnya di Jakarta. Mereka dengan cekatan memilih barang-barang yang sesuai dengan kebutuhan orang yang akan mereka berikan, tidak lupa pula Keisya membelikan hadiah untuk anak Nurul dan Raihan. Setelah semuanya siap, Andi dan Keisya pergi ke bandara Sultan Hasanuddin. Pesawat akan lepas landas beberapa menit lagi.

  Beberapa jam di pesawat mereka habiskan dengan hanya berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sejak kemarin malam mereka tidak banyak bicara, hanya mengatakan hal yang darurat saja. Keisya ingin sekali bersandar di bahu Andi tetapi ada rasa ragu dihatinya, takut jika Andi akan marah dengan apa yang dilakukannya. Andi yang melihat itupun hanya tersenyum tipis.

  Mereka akhirnya telah sampai di Jakarta. Selama empat bulan di kampung Bocci tepatnya di Sulawesi Selatan, tidak ada yang berubah dengan ibu kota. Tetap saja macet. Diantara ribuan manusia, ada yang marah, bosan, tanpa ekspresi melihat jalanan yang sangat ramai.

"Kamu mau kita langsung pulang ke rumah atau ke rumah abi dulu?" tanya Andi memecahkan keheningan.
"Terserah kak Andi saja." jawab Keisya tersenyum.

   Rasa syukur dilantunkan bibirnya. Beberapa jam di pesawat mereka hanya diam. Baru kali ini Andi kembali mengajaknya bicara. Keisya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

   Kediaman keluarga Mahendra sudah di depan mata. Andi memutuskan untuk mampir ke rumah mertuanya. Ia mengerti perasaan Keisya yang sangat merindukan orang tuanya. Walaupun Keisya hanya mengikuti Andi, tetap saja Keisya akan merasa kecewa jika tidak bertemu secepatnya dengan ummi Rani dan abi Mahendra.

   Andi yang memencet bel beberapa kali tidak ada yang membuka pintu, tetapi waktu Keisya yang melakukannya pintu langsung terbuka. Sepertinya kekuatan ikatan batin seorang anak dan orang tuanya sangat erat. Pintu terbuka menampilkan sosok ibu yang sangat dirindukan anaknya dan dibelakangnya ada sosok ayah yang selalu membimbingnya agar berjalan di jalan yang lurus.

"Ummi, abi! Kei rindu," ucap Keisya sembari memeluk ummi dan abinya bergantian.
"Aduh nak, sudah mau jadi ibu malah kekanakan sekali. Bisa-bisa anak kamu jadi saudara kamu kalau sifat kamu masih begini." Ummi Rani tersenyum melihat anaknya.

   Keisya jadi ingat perkataan seseorang yang sangat berjasa dalam hidupnya. Entah itu perkataan darinya ataukah dari orang lain tetapi sangat bermanfaat bagi Keisya. "Usia anak satu sampai tujuh tahun adalah raja, tujuh sampai lima belas tahun jadi tawanan, lima belas sampai dua puluh satu tahun jadi sahabat". Meskipun usia Keisya disaat itu baru terbilang remaja tetapi Keisya masih mengingatnya sampai sekarang dan selama-lamanya.

   Ummi Rani dan abi Mahendra silih berganti mengelus lembut perut Keisya. Mereka tidak hanya rindu dengan anaknya tetapi juga calon cucunya. Mereka berharap masih bisa melihat cucunya suatu saat nanti.

"Andi, bagaimana proyeknya disana? Lancar atau masih ada yang belum selesai?" abi Mahendra menatap Andi dengan tatapan datar.

   Sepertinya abi Mahendra marah dengan Andi karena terlalu lama berada di kampung Bocci. Padahal Andi pernah berkata hanya sebulan tetapi sampai empat bulan.

"Abi, jangan gitu dong sama nak Andi. Ini semuakan memang tanggung jawabnya sebagai pemimpin perusahaan. Abi juga begitu saat ummi hamil," ucap ummi Rani menenangkan suaminya.
"Tidak apa-apa ummi. Memang ini salah Andi juga yang tidak bisa menyelesaikan tugas dengan cepat," Andi merasa bersalah karena membuat mertuanya marah.

   Keisya yang melihat sikap abinya hanya bisa diam. Ia mengerti perasaan abinya yang tidak mau anaknya merasakan hal yang sama seperti umminya. Keisya memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Sudah lama ia tidak tidur di kasurnya yang lembut.

Jodoh Pilihan Ummi (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang