Issue pt.3

10.7K 1K 19
                                    

Haechan masih tak habis pikir.


Kejadian kemarin sepulang sekolah masih belum bisa terlepas dari pikirannya. Bagaimana bisa seniornya itu bertingkah seperti—seperti... ah sudahlah! Di pikir pun tak akan ada ujungnya.


Untungnya kemarin seorang senior dengan tinggi yang tak seperti anak SMA pada umumnya menghampiri lokasi kejadian dan membawa Mark menjauh. Well, menggeret sih lebih tepatnya.


Haechan aman, untuk saat ini.


Bukannya tak suka—Haechan akui Mark memang tampan, tapi mereka belum pernah kenal sebelumnya. Hanya sebatas tahu. Dan tiba-tiba ditembak seperti itu, siapa yang tak kaget?


Paling cuma iseng, pikirnya asal tebak. Atau parahnya dia kalah taruhan.


Mengabaikan kepalanya yang mulai melantur, Haechan beranjak dari tempat duduknya dan bergabung untuk bermain sepak bola. Diabaikannya teriakan Jaemin yang melarangnya mendekati lapangan. Karena sahabatnya tahu pasti bahwa Haechan payah di olahraga itu.


Tapi memang dasarnya Haechan itu keras kepala. Tetap memaksa agar mereka membiarkannya bergabung.


And look how he has ended up now!


Kakinya terkilir.


Tapi hebatnya, dia tak menjerit. Bahkan ringisan sakit tak nampak diwajahnya.


Tentu saja, Haechan terlalu terkejut kala mendapati lengan Mark dengan seenaknya menyangga pinggangnya.


Sontak semua mata (lagi) memandangi mereka. Hingga pemuda itu mendesis kesal karena menjadi pusat perhatian. Ia benci jadi pusat perhatian. Dan lebih benci lagi karena Mark yang menolongnya.


Demi Tuhan!


Dari semua orang di universitas ini, kenapa harus Mark? It feels like a dejavu, tho.


"Kau ceroboh dan sangat bodoh hingga meleset saat menendang bola." Kata Mark saat mereka tiba di UKS. Dia mendudukkan Haechan di salah satu ranjang dengan pelan.


Haechan memutar bola mata malas. "Aku tak butuh komentarmu."


Dan setelahnya mereka terdiam, entahlah Haechan tak ingin membuka pembicaraan. Terlalu canggung.


Tak ada siapapun di dalam ruangan sempit itu. Bahkan nona perawat yang selalu ketiduran di ujung meja pun seolah menghilang. Menyisakan hanya mereka berdua.


Mark masih berdiri awkward sembari mengusap belakang lehernya. Dan Haechan merasa kasihan melihat pemuda itu kebingungan akhirnya menyerah dan bertanya, "Kenapa kau menolongku?"


"Kau berharap aku membiarkanku jadi bahan tertawaan?" balas Mark dengan alis terangkat.


"Itu urusanku."


"Lalu?"


"Kau tak seharusnya ikut campur."


"Memangnya salah kalau aku ikut campur?"


Baru kali ini Haechan merasa ingin memukul kepala seseorang. How absurd!


Dibalik ketampanannya yang mencengangkan, Mark ternyata bisa sangat menyebalkan. Pepatah don't judge a book by it's cover memang benar adanya.

My SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang