Haechan berlari.
Tak dipedulikannya batu dan rumput liar yang menggores kaki telanjangnya. Hell, dia bahkan tak tahu kemana arahnya berlari.
Semua berlangsung begitu cepat.
Baru sedetik dirinya membaringkan tubuh diatas kasur setelah perjalanan yang lumayan panjang, tahu-tahu dari lantai bawah terdengar ribut. Suara-suara asing saling bersautan lalu diikuti barang pecah. Keramik, pajangan jatuh, dan gedebuk seperti orang tumbang.
Haechan sadar ada yang tak beres.
Baru saja kakinya melangkah menuju pintu kamar, derap kaki berebutan terdengar makin keras. Suara itu mendekat ke ruangannya berdiri. Masih separuh linglung, mendadak kakinya dibuat membeku oleh satu suara.
"Lari!"
Itu teriakan Wendy. Memekik keras diantara gaduh yang semakin bingar.
Menyadarkan Haechan seketika kalau peringatan itu ditujukan untuknya.
Tanpa buang waktu, pemuda itu berlari ke arah balkon dan melompat sembarangan. Tubuhnya menggelinding diatas tanah basah, bekas hujan.
Shit.
Bahunya terasa ngilu. Seperti tulangnya bergeser dari tempat seharusnya.
But he couldn't care less. He needs to run.
Entah sengaja atau tidak, tapi Haechan bersyukur lokasi rumah keluarga Wendy dikelilingi oleh pepohonan yang lumayan tinggi. Dengan begitu dia bisa menyamarkan keberadaannya dari siapapun itu (dasar bajingan!) yang menyerang siang bolong begini.
Haechan tidak tahu sudah berapa jauh dia berlari. Yang dirasakannya sekarang adalah kakinya mulai kaku dan napasnya makin tersendat. Dalam kelebatan pohon, pemuda itu memutuskan untuk berhenti sejenak. Dirogohnya saku belakang dan langsung mengumpat.
No phone.
Jangankan alat komunikasi, sandal saja dia tidak pakai!
Haechan memutar otak. Sebesar apapun dia mengkhawatirkan Wendy, tidak mungkin kembali ke sarang penjahat itu. Lagipula dia yakin sepupunya itu baik-baik saja.
Lecet? Sure.
Mati? Impossible.
Yang membuatnya kesal setengah mati adalah, dimana Mark Lee?!
Sejak mereka berpisah di bandara, Mark sama sekali belum kelihatan batang hidungnya. Entahlah, pemuda menyebalkan itu hanya bilang kalau ayahnya memberi satu perintah mendadak.
Ck, isn't he supposed to protect me?
Tiba-tiba beberapa meter dari tempatnya berdiri, muncul suara sepatu menginjak genangan air. Suara itu menggema keras diantara sepinya dedaunan. Begitu jelas dan bertalu di telinga.
Haechan menahan napas.
Tanah yang lembek pasti meninggalkan jejak, apalagi dia tak memakai sepatu. Kawanan itu pasti langsung bisa mengejarnya dengan mudah.
Sialan.
Jika dia lari sekarang dan menimbulkan banyak suara, orang itu akan tahu keberadaannya. Dan kecil kemungkinan dia bisa kabur karena kakinya sudah mati rasa.
Tidak ada pilihan lain. Akan dihadapinya seorang diri.
God, Haechan hanya berharap tidak melibatkan pertempuran pistol. Jelas dia akan kalah bertarung hanya dengan tangan kosong.
Saat bayangan hitam mulai muncul dari balik pepohonan, tanpa diduga tangan dan kakinya dikunci dari belakang oleh seseorang. Mulutnya ditutupi kain dan akibat rasa terkejut, tanpa sadar dia mencium obat penenang yang telah dibalurkan pada kain itu.
Double Shit.
Mata Haechan mulai kabur. Pandangannya memburam.
Tak lama, segalanya menjadi gelap.
I didn't plan it to be this dark, but—yeah. Let's see what's gonna happen next.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sunshine
RomanceWhat should I do then, sunshine? [SHORTFIC COLLECTION] Start 11/01/2020 End 20/06/2020 #7 Markchan