SATU - THE PLAN

8.4K 737 10
                                    



Jantung Alyssa berdegup kencang. Ia tahu cepat atau lambat ia harus memberitahu Ibu dan Ayahnya tentang beasiswa S3 di Amerika yang berhasil didapatkannya. Namun ada keraguan di hatinya, karena ia tahu apa yang akan dikatakan orang tuanya kepadanya.

Alyssa memang sengaja memilih waktu ini untuk memberitahu kedua orang tuanya itu. Ia pikir jika tidak banyak lagi waktu tersisa sebelum keberangkatannya, ibu dan ayahnya mau tidak mau akan lebih mudah mengijinkannya pergi.

"Mam..Pap.." Katanya mencoba memulai percakapan ditengah santap paginya bersama.

"Hm?" Kata mereka bersamaan.

"Ada apa sayang?" Tanya Ibunya.

"Hm.. Caca.."

"Kamu kenapa Ca?" Tanya Ayahnya.

"Caca dapet beasiswa S3 ke Amerika Pap. Rencananya aku berangkat 4 bulan lagi." Kata Alyssa akhirnya.

"Ca.. kok kamu baru bilang Papa Mama tentang ini empat bulan sebelum berangkat sih, kan Mama udah bilang, kamu boleh lanjutin sekolah kalau kamu udah nikah." Kata Mamanya, kini Mamanya itu sudah berhenti menyantap nasi gorengnya.

"Hmm iya.." Katanya tidak tahu lagi mau menjawab apa.

"Hubungan kamu sama Wildan gimana sih? Wildan belum siap buat nikahin kamu apa gimana?" Tanyanya.

"Hmm.. Caca sama Wildan udah enggak pacaran lagi Mam. Udah lama." Jawabnya sedikit berbohong. Wildan dan dirinya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dua bulan lalu. Saat ia memberitahunya tentang syarat yang diberikan ibunya agar ia diperbolehkan untuk melanjutkan S3 adalah pernikahan, Wildan memberitahunya bahwa ia belum siap jika harus menikahi Alyssa secepat itu. Ia tahu, hubungan seperti itu tidak layak untuk ia pertahankan.

Sejak saat itu, Alyssa tahu waktunya tidak banyak lagi. Bagaimana ia bisa memulai kembali suatu hubungan bersama seorang pria baru hanya dengan waktu dua bulan.

"Loh sama Wildan itu udah enggak? Bukannya anaknya baik ya? Kok putus sih Ca? Lah itu pergi ke Amerikanya gak bisa diundur? Mama tetep gak bolehin kamu pergi kalau kamu belum nikah Ca." Kata Mamanya.

"Pap.." Kata Caca meminta pertolongan Ayahnya.

"Ca.. bukan apa-apa, kekhawatiran Mama kamu itu ada benernya Ca, kamu anak kami satu-satunya, sebenernya kita cuman takut kamu keasyikan nyari gelar terus kamu lupa fitrah kamu sebagai wanita. Mama kamu tuh cuman takut kamu bakal tambah susah cari jodoh.. kamu tuh wanita, wanita itu gak kayak laki-laki." Kata Ayahnya.

"Pap, Mam.. kenapa sih nikah itu harus jadi ukuran seorang wanita? banyak wanita di luar sana walaupun gak nikah tetep sukses dan bahagia!" Katanya. Nadanya mulai meninggi.

'Hush! Jangan ngomong gitu kamu.. pamali!" Seru Ibunya. "Wanita itu harus menikah.. kamu itu harus punya pasangan hidup Ca.. pas umur segini mungkin gak akan terlalu kerasa, nanti seiring kamu bertambah umur, ketika semua teman sebaya kamu menikah, punya anak, dan berkeluarga, kamu baru tahu rasanya kesepian itu, Mama cuman gak mau anak Mama satu-satunya merasakan itu. Mama dan Papa gak akan selamanya ada di dunia buat jagain kamu Ca." Kata Mamanya sedih. Ibunya pasti kembali teringat akan adiknya yang harus meninggal dengan kondisi belum menikah karena terlalu mementingkan karirnya ketika muda. Ia tahu bagaimana tantenya itu tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang tidak bisa setiap hari menemaninya ketika ia sakit. Ia mengerti perasaan Ibunya itu.

"Maafin Caca, Mam.." Katanya akhirnya. Ia kemudian menyelesaikan sarapannya dalam diam sebelum kemudian beranjak untuk berangkat ke tempat kerjanya.

Apa yang harus ia lakukan?

Namun kemudian dalam perjalanannya menuju kantor suatu ide gila terlintas di pikirannya.

That would be crazy, but should she try it?

Tangled UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang