Dua

7.2K 776 143
                                    

Gama berjalan menyusuri pantai yang berada di dekat rumah dengan kotak bertali yang ia gantungkan di perutnya untuk menampung barang dagangannya.

"Kak, mau asesoris manik-manik ini?" tawar Gama pada salah satu keluarga yang sedang bersantai memakan kelapa muda.

Wanita berumur dua puluh tahunan itu menggeleng, "Maaf, Dek, nggak dulu."

Gama mengangguk tak memaksa, ia pun tersenyum dan berpamitan. Meninggalkan keluarga itu sebelum ia ikut kehausan ingin minum air kelapa juga.

Hari ini jualannya tak begitu laku, pantai begitu sepi karena sedang musim hujan. Padahal cukup enak berjalan-jalan di pantai dengan suasana mendung seperti ini.

"Hey!" teriak suara seorang laki-laki sembari menepuk bahu kecil Gama.

Gama menoleh dan tersenyum senang, "Hey!"

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Gama menatap Bryan bingung karena lagi-lagi lelaki itu menggunakan bahasa yang ia tak pahami. "Hey!"

"Hey?" Bryan balas menyahut. Ikut bingung karena Gama justru menjawab pertanyaannya dengan sapaan.

Gama mengangguk lucu—mengingatkan Bryan dengan anak anjing kesayangannya di Amerika. "Hey!"

Bryan tersenyum geli. Mata berwarna biru laut itu tak sengaja melihat barang dagangan Gama dan mengambilnya, terkagum-kagum dengan manik-manik yang terlihat berkilau itu. "Hey, apa ini?"

"Itu asesoris jualanku, bagus banget lho! Kamu mau beli?" tanya Gama antusias, tanpa sadar membuat Bryan gemas.

Lelaki bule yang lebih besar darinya pun terkekeh dan mengacak rambut Gama pelan. "Berapa harga kamu menjual barang ini?"

Sejujurnya mereka menggunakan bahasa masing-masing, namun entah mengapa mereka mengerti satu sama lain. Mungkin karena gestur tubuh yang mengiringi obrolan mereka?

"Sepuluh ribu satunya."

"Sepuluh ribu?" tanya Bryan bingung mengenai berapa itu sepuluh ribu.

Gama menunjukkan kesepuluh jarinya di depan wajah keduanya. "Sepuluh. Ten hundred rupiah."

Ten hundred? Sepuluh ratus?

Bryan lagi-lagi tertawa. Anak ini sangat polos, pikirnya. "Ah, maaf. Aku belum menukarkan uangku di bank. Bisa kubayar dengan uang ini?"

Gama menatap uang di genggaman tangannya ini heran, sama-sama sepuluh. Namun, ia meminta sepuluh ribu rupiah dan Bryan memberikannya sepuluh dollar.

"Apa ini kurang?" Bryan membuat gestur menunjuk uang di tangan Gama dan bertanya. Semoga Gama paham.

Gama tersenyum dan mengangkat bahunya tak masalah, masa bodoh jika nominalnya lebih kecil. Ia tak apa, hitung-hitung memberi hadiah pada Bryan—teman barunya.

"Mau bermain?" Bryan bertanya, tetapi remaja berumur enam belas tahun itu tak membutuhkan jawaban karena bahkan lelaki ini telah menggandeng Gama ke arah rumah kosong yang mereka tandangi kemarin.

"Bagaimana kabar ayahmu? Ayah, daddy, papa," tanya Bryan dengan menyebut panggilan-panggilan untuk ayah agar Gama mengerti ucapannya.

"Papa? Baik. Dia oke," sahutnya riang.

Gama sangat indah di mata Bryan. Lelaki bernetra biru itu tampak senang ketika melihat rambut hitam legam itu diterpa angin pantai yang lumayan keras. Gama terlihat sangat mandiri, tapi di satu waktu terlihat rapuh pula.

"Beautiful," ungkap Bryan tanpa sadar ketika matanya bersirobok dengan mata sipit kecokelatan Gama.

"Hah? Beautiful?" Gama bermonolog pelan ketika Bryan menatapnya sambil berkata demikian, "Apa aku yang dibilang cantik? Aku kan cowok," gumamnya pelan.

Melihat wajah kebingungan Gama, Bryan makin dibuat terlena. Maka dari itu, pria yang lebih tinggi itu memajukan wajahnya untuk akhirnya mempertemukan bibirnya dengan bibir anak berumur tiga belas tahun itu.

Mata Gama membulat, tapi lelaki kecil itu tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menatap kelopak yang terpejam milik Bryan dengan terkejut, karena demi apa pun untuk apa ciuman ini!? Bahkan ayah dan adiknya tak pernah menciumnya di bibir!

Tiba-tiba mata Bryan terbuka kaget. Ia langsung menjauhkan tubuhnya dengan panik. Oh, sial! Apa-apaan dengan dirinya?! Mengapa ia mencium Gama? Ia juga tak tahu mengapa hormon remajanya ini justru bekerja pada Gama, sedangkan ia tak pernah sembarang mencium orang jika itu tak seizin dengan yang bersangkutan.

"Maaf, maaf, maafkan aku," ujar Bryan panik ketika Gama justru terdiam dengan pandangan kosong, tak merespons ucapan Bryan. "Gama, apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menggoncang kedua bahu Gama.

"Buat apa ciuman itu?"

"H-hah?" Bryan tak paham. Dan untuk kali ini ia merutuki dirinya yang bodoh karena tak mempelajari bahasa Indonesia sebelum ke sini.

"Why you ... kiss me?" tanya Gama pelan karena tak yakin dengan bahasa inggrisnya yang selalu remedial di sekolah.

"Maaf," cicit Bryan, "aku juga tak paham mengapa aku menciummu. Aku—"

Oke, Bryan terlalu banyak bicara, ucapannya pun cepat. Gama sama sekali tak paham kecuali kata 'maaf' yang terlontar di awal.

Gama sering melihat di televisi kalau kebiasaan orang barat memang berciuman. Mungkin itu adalah gaya berkenalan mereka, atau mungkin pula itu hanya ciuman tanpa arti saat mereka ingin berciuman dengan temannya. Oleh karena itu, Gama mengangguk dan tersenyum. "Sip, aku paham kenapa kamu nyium aku. Kita berteman sekarang!"

Gama menjulurkan tangannya sembari tersenyum lebar. "Salami tanganku, ayo kita meresmikan pertemanan dengan cara Indonesia!"

Bryan yang tak mengerti hanya bisa mengikuti alurnya. Ia menjabat tangan Gama dengan senyum yang tak kalah lebar.

"Kamu bisa nyium aku kayak orang Amerika, terus aku bisa salaman sama kamu kayak orang Indonesia. Ya 'kan, Bryan?"

"Aku tak paham. Bisa kamu terjemahkan sedikit? Meaning, mean-ing." Si tinggi menekan satu kata kunci dalam ucapannya.

"You boleh kiss me kapan aja, dan I boleh salamin your hand kayak tadi kapan aja 'kan? We friend, right?" papar Gama terbata-bata.

Sedikitnya Bryan tahu artinya. Kiss me, your hand, we friend. Maksudnya lelaki itu minta dicium dan digandeng sebagai teman, begitu? Friends with benefit adalah ungkapan yang dicap oleh orang Amerika sana.

Bryan tak menyangka anak sepolos Gama bisa mengerti hubungan seperti ini juga. Padahal anak seumuran mereka di sana lebih memilih berpacaran ketimbang 'teman tapi mesra' seperti itu.

Tapi tak apa, yang lebih tua justru mengangguk dan mencondongkan tubuhnya ke arah Gama. Mencium lelaki itu lebih lama lagi.

Ya, namanya juga friend with benefit kan.





Ya, maafin bahasa Inggris Gama emang kacau atau terkesan anak Jaksel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ya, maafin bahasa Inggris Gama emang kacau atau terkesan anak Jaksel. Maklumin aja Gama yang remed bahasa Inggris kudu ngomong dikit-dikit biar Bryan paham g hah-hah mulu kek tukang keong wkwkw.

Dan Gama emang sepolos itu wkwk, Bryan jg sedewasa itu pikirannya karena ya namanya jg bule. Umur 16 ya udah ngapa2inlah ....

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang