"Kata Om Doni, kamu mau diangkat anak sama bule tadi ke Amerika, ya?" tanya seorang gadis centil yang tengah menggunakan lipbalm di depan kaca riasnya. Dan sayangnya gadis centil itu adalah adik dari Gama, Jessica namanya.
Jessica hanya berumur satu tahun di bawah Gama, namun lagaknya seperti mereka seumuran saja. Jessica pun mengakui kalau ia memang tak menghormati Gama. Karena demi Tuhan, ia tak butuh pria lemah seperti Gamaliel menjadi kakaknya.
Gamaliel mengangguk pelan, setelah beberapa detik terpesona dengan kecantikan sang adik. Kata ayah mereka Jessica mirip seperti mendiang ibu. Jika ibu masih hidup, pasti mereka bak buah pinang di belah dua, katanya.
Si bungsu melirik kakaknya dari pantulan kaca dengan pandangan mencela, kentara sekali kalau ia sedang iri. "Kenapa kamu yang diadopsi? Kenapa bukan aku? Bahasa Inggrisku lebih bagus daripada kamu. Dan juga ... kamu tau kan, Gama, kalo aku nggak suka dengan keluarga ini? Aku juga mau pergi dari lama," tutur sang adik, membuat Gama menundukkan kepalanya sedih.
Dua tahun lalu saat gadis muda itu berumur sepuluh, ia memang mengatakan tak menyukai keluarganya. Dengan ibu yang telah tiada, dengan ayah yang mengalami kerusakan otak pasca kecelakaan mereka, pun dengan sang kakak sok perhatian yang membuatnya muak. Itu katanya dulu—dan lagi-lagi kata-kata itu keluar dengan kata yang sama menyakitkannya bagi sang kakak
BRAK!
"Apalagi dengan kondisi keluarga miskin kayak gini!" Jessica membanting pensil alisnya hingga patah. Dadanya naik turun menahan amarah, "Anjing! Pensil alisku patah, beliin lagi!"
Gama mendongak heran, dari mana kekuatan sang adik berasal? Namun, Gama menggeleng akhirnya.
Jessica membalikkan tubuhnya, menatap kakak yang menggeleng sebagai responsnya. "Kamu nggak mau beliin aku pensil alis lagi?!" sentaknya.
"K-Kakak nggak punya uang, Jess. Kakak—"
"Jangan boong! Tadi aku liat jualanmu abis! Kasih aku uangnya!" paksa gadis itu dengan keras kepala.
"Asesorisku emang abis, tapi ... aku dibayar pake uang ini." Gama pun menunjukkan uang lecek bernilai sepuluh dolar yang tadi Bryan berikan.
Mata Jessica membulat dan merampas uang itu cepat. "Dari mana kamu dapet uang sebanyak ini, Gama? Kamu nyolong?!"
Mata Gama sontak melotot, "Aku nggak nyolong! Ini tadi dikasih Bryan," cicitnya di akhir kalimat.
"Bryan?"
Gama mengangguk, "Iya, Bryan. Anaknya bule yang kemaren."
"Kamu udah sedeket itu sama anaknya bule kemaren? Bahkan belum apa-apa, dia udah ngasih kamu uang. Jangan-jangan ... kamu emang mau diadopsi mereka?"
Gama mendongakkan kepalanya dan menggeleng cepat, "Enggak! Aku nggak bakal mau diadopsi mereka, Jess! Aku mau sama kalian. Aku—"
Jessica tersenyum puas saat mendapatkan inti dari pertanyaannya. "Kalo gitu aku aja yang mereka adopsi."
"A-apa?" Gama menatap sang adik tak percaya, ia ingin memastikan bahwa pendengarannya tak bermasalah. "Coba ulangin omongan kamu tadi."
"Kalo kamu nggak mau, biar aku aja yang mereka adopsi. Amerika itu tempat impianku, apalagi mereka kaya, terus aku bakal punya sodara ganteng, punya—"
"Stop, Jessica! Kamu tau apa yang kamu pikirin? Kamu nggak bisa—"
"AKU BISA!" potong gadis itu lagi, membentak kakaknya hingga sang kakak melonjak terkejut dari kasur yang didudukinya. "Aku muak sama keluarga ini! Aku mau pergi! Aku capek di sini, aku mau bahagia, Gama!"
Netra Jessica berkaca-kaca, menatap kakaknya dengan tatapan memohon untuk dimengerti. Dan siasatnya benar, yang lebih tua langsung mengembuskan napasnya pasrah. "Terserah kalo itu mau kamu, aku nggak bisa maksa kalo keluarga kita emang nggak bisa bikin kamu bahagia."
Yang muda langsung tersenyum senang, ia menyeka air mata buayanya tanpa bekas. "Bagus. Nanti jangan lupa bilang Om Doni biar aku yang diadopsi, ya! Aku mau pergi dulu buat balikin uang ini, daaah!"
Jessica langsung berjalan keluar kamar dengan hati yang riang. Meninggalkan Gama yang menatapnya dengan hati yang tak senang.
Gama menangis dalam diam karena usahanya selama ini untuk membuat nyaman Jessica justru sia-sia dan tak membuahkan hasil.
Jessica, adik kesayangannya ingin pergi darinya. Dari ayah mereka, dari keluarganya.
-
Jessica berbohong tentu saja. Gadis itu tak bodoh untuk mengembalikan uang sebanyak ini ke Bryan atau ayahnya, toh menurut mereka mungkin uang ini tak ada artinya. Oleh sebab itu, kaki kecil itu justru berjalan ke tempat penukaran uang yang ada di pertokoan dekat rumah mereka.
"Dari mana kamu dapet uang sebanyak ini, Dek?" tanya ibu-ibu tua di tempat penukaran uang ketika melihat gadis sekecil itu membawa uang yang tak terbilang sedikit untuk dibawa gadis seusianya.
"Dari tanteku, dia baru ngasih aku uang dari Amerika," jawab Jessica sambil memasukkan uang itu ke dompetnya. "Kalo gitu saya pergi dulu ya, Bu. Terima kasih."
Sepeninggal Jessica dari money changer, mata bulatnya itu langsung jelalatan melihati toko-toko di sekitarnya.
Melihat toko kecantikan di seberang jalan, mata Jessica langsung berbinar. Ia mau membeli pensil alis baru untuk menggantikan pensil alisnya yang patah karena kakaknya yang bodoh itu. Dan tak mau membuang waktu, kakinya langsung berlari kecil ke toko tersebut.
-
"Jess, dari mana kamu dapet barang-barang sebanyak itu?" tanya Gama ketika melihat kasur adiknya yang berantakan karena barang-barang baru yang gadis itu keluarkan.
Ada gaun dan banyak printilan make up yang bertebaran.
Nyatanya ketika di toko kecantikan tadi Jessica tak hanya membeli pensil alis, tapi juga barang lainnya seperti lipstik, eyeliner, serta blusher. Setelah itu, mata kecilnya pun jelalatan melihat gaun cantik yang di-display di etalase sebuah toko ketika hendak berjalan pulang. Dan ketika merasa uangnya cukup, tanpa ragu gadis itu langsung membelinya.
"Ya aku belilah! Menurutmu?" Ucapan berlumuran kesombongan itu keluar dari bibir mungil anak perempuan itu.
Alih-alih merasa tak dihargai serta tak mau mengganggu kesenangan adiknya, Gama malah tersenyum. Ikut senang ketika melihat adiknya yang tersenyum ketika menata alat kecantikannya dengan telaten di atas meja rias. "Kamu cantik banget!"
"Iyalah! Aku emang cantik!" balasnya sambil mengibaskan rambut ikal buatannya.
"Kamu udah bilang ke Om Doni kalo aku aja yang diadopsi, Gam?"
Kepala Gama menggeleng pelan ketika diingatkan hal tersebut. "Om Doni belum pulang dari tadi."
Anak bungsu itu mengangguk paham tanpa melihat wajah muram si sulung. Mengabaikan setitik air mata yang diam-diam menetes membasahi pipi kakaknya.
•
•
•
•
•
Jangan bilang Gama cowok lembek, cengeng, ya! Dia cuma anak umur 13 tahun yang banyak beban hahahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
רומנטיקהBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...