Sepuluh

4.3K 555 80
                                    

Bryan kebingungan tentu saja, ia tak tahu hendak ke mana setelah kabur dari si anak sok manis Jessica itu.

Ah, sial. Gadis itu mengganggu dirinya dan sang ayah mereka terlalu pagi.

Lelaki bule itu melirik jam tangannya dengan malas, jam sembilan waktu Indonesia bagian barat.

Kan, memang! Ini masih terlalu pagi baginya. Ia hendak ke Gama tentu saja, berhubung yang dikenalnya hanya Andreas sekeluarga—dan sayangnya yang sangat baik dan dekat dengannya adalah Gamaliel seorang.

Maka tanpa berpikir panjang, Bryan langsung melangkahkan kakinya ke rumah sederhana Gama yang berada di dekat pantai itu.

"Ga-ma?" tanya ayah Gamaliel, khasnya yang tak bisa berbicara dengan baik.

Bryan mengangguk sebagai jawaban, meminimalisir kalimat yang membuat ayah Gama makin kebingungan nantinya. Dengan ragu, lelaki enam belas tahun itu menggunakan bahasa Indonesia yang sedari tadi dihafalinya. "Gama, di ... mana?"

"Se-ko-lah. Ga-ma anak baik, se-ko-lah. A-ma se-ko-lah. A-ma di sana—" tunjuknya pada bangunan besar yang nampak tua. Satu-satunya sekolah dasar di desa ini. Paling mencolok karena paling besar dibanding rumah-rumah kecil di sini.

Oke, cukup. Ayahnya Gama terus berbicara dengan bahasa Indonesia, tak jelas lagi.

Tapi, satu hal yang Bryan tangkap. Sekolah. Dan syukurlah ayah Gamaliel menunjukinya bangunan itu.

Maka tanpa mengurangi kesopanan, Gama pun sedikit membungkukkan badannya seraya mengucap terima kasih sebanyak-banyaknya.

-

Bryan dengan sangat sabar mengintipi setiap kelas—beruntung selalu ada jendela kecil di pintu kelas yang tertutup—di lorong anak kelas enam ini.

Ia masa bodoh dengan anak-anak yang balas menatapnya takjub karena ada bule setampan Bryan yang memasuki perkampungan, bahkan sekolah mereka.

"Wah, ada bule! Ada bule!"

"Gila, ganteng banget, weh!"

Gamaliel yang sedang sibuk menjahit asesoris yang akan dijual di pantai dekat rumah langsung menghentikan aktivitasnya.

Dengan cepat, Gama menerobos di antara teman-temannya yang berkerumun di pintu kelas mereka sembari mengelukan 'bule' secara terus-terusan.

"Bryan?" monolog Gama begitu melihat Bryan yang celingukan meniti tiap kelas. "Bryan!"

Sontak Bryan menoleh mencari sumber suara yang memanggil namanya. "Gama?"

Gama pun langsung keluar dari kelasnya menghampiri Bryan. Ia diberi dispensasi oleh bu guru karena dianggap Bryan mengacaukan kegiatan belajar mengajar.

"Kamu ngapain?" tanya Gama saat ia sudah berada di hadapan si bongsor Bryan.

"Akhirnya aku menemukanmu! Oh, Ya Tuhan, aku lelah sekali." Lelaki enam belas tahun itu langsung berseru lega.

Ia sudah panik dari tadi saat dirinya mendadak menjadi pusat perhatian satu sekolahan bak alien tampan yang sedang tersesat.

Si mungil tanpa ba-bi-bu langsung menarik tangan Bryan ke ruang musik, tempat favoritnya yang acap kali sepi.

"Mau main piano?" tawar si anak tiga belas tahun.

"Piano! Aku suka sekali bermain piano!" pekik Bryan dengan semangatnya.

Ia langsung duduk sembari menarik Gama untuk duduk di kursi panjang depan piano.

Bryan memencet tuts piano dengan sangat indah, namun tak bertahan lama karena Gama mulai mengacaukannya.

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang