Empat

5.1K 646 42
                                    

"Gama, itu Om Doni udah pulang," bisik Jessica, jemari lentik itu mendorong-dorong lengan Gama untuk segera berdiri dari duduknya. Mengejar Om Doni yang tengah berjalan ke kamarnya sendiri dengan sempoyongan, mengabaikan keluarga harmonis yang sedang makan malam.

Dengan berat hati, Gama berlari kecil untuk mencapai kamar adik dari ayahnya itu.

"O-Om ...," panggil Gama ketika melihat pamannya yang nyaris tertidur di kasurnya, tangan besar sang paman yang ingin menarik selimut pun ia terhenti karena panggilan dari sang keponakan.

"Apa?" tanya Om Doni sengau, mata sipit Om Doni itu pun menatapnya dengan mata sayu seperti orang sakau. Membuat Gama menundukkan kepalanya takut-takut.

"I-itu ... gimana kalo aku nggak usah ke Amerika? Um ... aku harus jaga ayah." Dan dengan memantapkan hati, ia menatap sang paman guna menilik ekspresinya. Masih datar. Sehingga setelah menelan air liurnya pelan, ia kembali melanjutkan, "Gimana ... gimana kalo misalnya Jessica aja yang berangkat untuk diadopsi sama Mr. Charlie?"

"Hah?" respons Om Doni, lalu tertawa meremehkan dengan suara aneh yang mungkin keluar dari hidungnya. "Kamu bilang apa? Jessica katamu? Jessica ... anak sakit-sakitan gitu siapa yang mau?!"

Gama menundukkan kepalanya. Memang, Jessica walaupun keras begitu, gadis itu memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Gadis itu memang sering sakit jika musim hujan atau cuaca sedang dingin, gadis itu juga kalau terkena matahari terik bisa mimisan tiba-tiba. Namun, demi kebahagiaan sang adik, Gama akan terus berusaha.

"K-kayaknya keluarga Mr. Charlie keliatan kaya. Mungkin Jessica bisa diobati sama keluarga barunya nan—AKH!" Gama memekik kesakitan saat tiba-tiba Om Doni mencekik lehernya, memojokkannya ke dinding dengan tangan besarnya yang kasar.

"Kamu pikir kamu siapa mau nyuruh-nyuruh aku kayak gitu?! Jessica nggak akan pernah pergi! Kamu yang bakal ke Amerika sana, jadilah anak yang sedikit berguna, goblok!" maki Om Doni sambil menghempaskan tubuh kurus Gama ke lantai luar kamar kecilnya. Tak memedulikan Gama yang megap-megap, menarik napas dengan rakus pasca cekikannya.

Om Doni menutup matanya setelah menyamankan diri di balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya. "Tutup pintunya, aku mendadak migrain denger omongan anak tolol kayak kamu!"

Maka dari itu Gama tak berani melanjutkan. Dengan gemetar tangan itu menarik knop pintu dan menutupnya pelan.

Dengan lesu anak tertua Andreas berjalan ke meja makan, terlihat ayahnya yang lagi-lagi tertidur di kursi saat makan. Terbukti dari mulutnya yang separuh terbuka itu terdapat nasi yang belum sempat dikunyah.

"Gimana? Om Doni bilang apa?" tanya Jessica sambil menatap sang kakak dengan antusias, suara cemprengnya itu keluar tanpa peduli ayahnya terbangun dari tidurnya.

Gama mengubah raut wajahnya seketika, berusaha menekan kelesuannya sedari tadi. "Om bilang bakal dia pikirin lagi. Kamu sabar aja, ya."

Senyum cantik dari wajah Jessica itu seketika hilang bersamaan dengan mood-nya. Gadis itu menatap sang kakak dan wajah konyol ayahnya yang sedang tertidur dengan dahi mengernyit jijik. "Pokoknya kamu harus ngeyakinin Om Doni biar aku yang diadopsi, harus pasti aku yang berangkat!—Udah ah, aku mau maskeran sebelum mukaku jadi jerawatan."

Dan anak yang berada di bangku akhir sekolah dasar itu pun meninggalkan sepasang ayah dan anak bahagia itu dengan wajah yang menjengkelkan.

Gama menatap punggung sang adik sendu untuk akhirnya kembali menatap ayahnya yang terbatuk karena mendengkur dengan mulut terisi, merasakan butiran nasi memasuki hidungnya sendiri. Sang ayah terus terbatuk hingga memuncratkan bulir-bulir nasi dari mulutnya pun terbangun dengan panik.

Tanpa rasa jijik, Gama berjongkok membawakan air putih. Tangannya menengadah di bawah dagu ayahnya. "Lepeh aja nasinya, Yah. Sini."

Maka tangan kecil itu pun menampung sisa makanan beserta liur yang ayahnya keluarkan tanpa sedikit pun rasa jijik. Tangan satunya segera menyodorkan air untuk ayahnya minum dengan rakus.

"A-yah ngan-tuk," kata sang ayah terbata-bata. Khas ayahnya yang tak bisa berbicara dengan sempurna.

"Tunggu, ya." Gama membuang lepehan ayahnya dan mencuci tangannya di keran tempat cuci baju—rumah ini memang tak memiliki wastafel karena tempat cuci piring bersamaan dengan tempat cuci baju yang berdekatan dengan dapur, pun ruang makan.

"Ayo, tidur." Gama pun memapah tubuh besar ayahnya untuk memasuki kamarnya sendiri. Mempersiapkan tidurnya bagaikan mempersiapkan seorang bayi.

-

"Gama?" panggil seseorang sambil menepuk bahu kecil Gama dari belakang.

Gama menoleh dan wajah muramnya langsung tergantikan senyum cerah. "Hai!"

"Hai!"

"Hai!"

"Hai!"

"Hai!"

Bryan tampak tersenyum maklum dengan sapaan mereka yang terlihat menggelikan karena saling melontarkan 'hai' hingga bosan. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini?"

"Hah?"

"A-pa yang kau laku-kan malam-malam be-gini, Gama?" Lagi-lagi Bryan mengeja bahasanya dan menekankan poin penting dalam kalimatnya.

Sedikitnya Gama paham, maka dari itu ia menjawab, "Aku mau beliin rokok buat Om Doni. Ro-kok." Sambil membuat gestur orang merokok.

Mata Bryan seketika membola tak percaya. "Kamu merokok?"

"Apa?" Gama bingung, kenapa Bryan kelihatan kaget karena ucapannya? Apa di Amerika anak seumurannya tak boleh membelikan pamannya rokok?

"Kamu," Tangan Bryan menunjuk Gama tepat di dada, "merokok?" Dan tangannya membuat gaya merokok seperti Gama tadi.

Gama menggeleng dan mata sipit itu pun melotot panik. "Nggak! Bukan aku! Om-ku, om! Un-cle."

Bryan terkekeh pelan menatap ekspresi yang Gama perlihatkan, pun cukup geli dengan pengucapan uncle yang Gama berikan karena daripada terdengar seperti uncle (baca; angkel), kata itu justru terdengar seperti ankle (baca; engkel).

"Kamu sudah makan? Ma-kan malam? Din-ner."

Gama mengangguk untuk bilang sudah, tetapi perutnya malah berkhianat. Membuatnya malu karena berbunyi di waktu yang tidak tepat. Gama memang sempat makan sekitar dua suap, mungkin? Namun, begitu menyambangi pamannya dan mengurus ayah, Gama tiba-tiba hilang selera makan dan justru disuruh omnya untuk membelikannya rokok tanpa menyadari kalau ini bahkan sudah jam sebelas malam! Toko mana yang akan buka jam segini di tengah kampung seperti ini?

Lagi-lagi Bryan terkekeh. "Kurasa aku paham. Aku sudah makan, tapi sepertinya perutku masih kuat untuk sekadar makan makanan cepat saji di KFC," ujar Bryan sambil menggamit telapak tangan Gama yang kecil. Tak memedulikan Gama yang terlihat linglung karena masih memproses rentetan bahasa Inggris itu dalam otaknya.

Terlebih bingung lagi ... kenapa lelaki ini menggandengnya terus menerus?





•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang