"Udah, Gam, jangan nangis lagi."
Gama sudah berusaha menahannya, tetapi tetap saja air mata itu semakin mengucur deras disertai dengan isakan yang lumayan keras.
"Kamu juga jangan menangis, Brenda."
Gila, Valen kelimpungan sekali untuk menenangkan Gamaliel dan Brenda yang masih menangis sejak semalam. Ya, dirinya tiba-tiba ditelepon Gamaliel yang terisak pada dini hari dan disuruh untuk mendatangi rumah sakit di mana Bryan dirawat.
"Hey, Gama, Brenda ... tenanglah. Bryan sudah baik-baik saja di dalam. Dirinya masih hidup, tinggal menunggu dirinya bangun dari tidurnya sebentar lagi," ujar Valen sambil merangkul keduanya dan mengelus bahu keduanya pula.
Dirinya kikuk tentu saja, tetapi apa daya, Gamaliel dan Brenda hanya bisa bertumpu padanya karena mereka seolah kehilangan topangannya masing-masing. Maka dari itu, Valen harus rela merasakan pegal di kedua bahunya tatkala kedua manusia ini bersandar padanya, sama-sama meminta dikuatkan oleh dirinya.
"Tapi Bryan masih tetap koma, apalagi kata dokter kondisinya terus memburuk." Gamaliel berkata sembari terputus-putus karena seduannya.
"Bryan nyaris kehilangan nyawanya, bagaimana kami bisa tenang?" Brenda pun menyahut sambil mengelap ingusnya pada lengan jaket Valen—yang mana langsung dihadiahi kernyitan jijik dari dahi Valen.
Lelaki itu hanya bisa mengembuskan napasnya tak berdaya seraya menatap Brenda dan Gama bergantian. Dirinya sudah pasrah tak bisa menolak kedua orang yang terlalu sedih nan melankolis seperti keduanya.
Yang penting Bryan masih hidup, apa tidak cukup? Walaupun koma itu seperti berdiri di atas satu dinding tipis penyekat hidup dan mati, namun setidaknya kan Bryan masih di sini. Masih bernapas dan masih terus berjuang untuk tetap bertahan, bukan? Lalu, apa gunanya terus menangis selama itu?
There's nothing to make him stay, but he needs a reason for him to stay.
Valen pun membuang napasnya untuk ke ... entah ke berapa kali. Ia tak menghitungnya.
"Bryan tak akan bangun karena tangisan yang berdurasi lama, tetapi Bryan akan bangun jika ia menemukan setidaknya sebuah motivasi untuk bangun. Untuk hidup," paparnya. "Kadang kita punya keinginan, tapi keadaan punya kenyataan."
Gamaliel lantas mengangkat kepalanya. Benar juga apa kata Valen, batinnya.
Lelaki itu pun beranjak dari duduknya, menghapus air mata yang sedari tadi membasahi wajahnya. Ia pun mengintip dari balik kaca pintu ruangan Bryan yang tertutup rapat karena ada pemeriksaan dari dokter yang bertugas.
Life must go on and there's nothing to regret, isn't it?
-
"Bryan, aku membawa bunga baru," tunjuk Gamaliel seraya menyodorkan bunga aster yang kemudian ia taruh di vas atas nakas.
Hari kedua puluh tujuh dan Bryan masih anteng dalam lelapannya, tak berkutik meski kerap kali diajak bicara.
"Maaf, hari ini aku terlambat. Tadi kafe Brenda ramai sekali, sampai-sampai kami kepayahan. Mungkin karena menjelang natal?" Gamaliel masih terus bercerita meskipun Bryan tidak memberikan respons apa-apa.
"Tadi aku digoda oleh bapak-bapak, tapi Brenda yang marah. Adikmu langsung mengomeli orang tua itu dan mengusirnya." Gama terkekeh mengingat kejadian di kafe milik Brenda—ya, sudah seminggu ini Gamaliel bekerja di sana. Ia dan Brenda memutuskan untuk mencari kesibukan agar sedikit teralih dari kesedihan. Pun Gamaliel enggan jika meminta uang dari Mr. Charlie maupun Brenda, ia ingin seperti dulu, bekerja untuk mendapatkan uangnya sendiri.
"Bryan ... apa kamu tidak mau bangun? Kamu sudah tidur lama, lho. Nanti badanmu sakit semua," bujuk Gama sambil mengetuk bahu Bryan dengan telunjuknya, menatap Bryan dengan tatapan naifnya.
"Sebentar lagi natal, apa ... kamu tak mau merayakan natal tahun ini bersamaku?" tanyanya sambil mengusap pipi Bryan yang pucat nan semakin tirus. "Aku yang akan mentraktirmu, Bry. Ayo, aku sudah mengumpulkan uang untuk kita makan bersama, hehe."
Dan Gama pun terdiam, namun di lubuk hatinya ia berdoa pada Tuhan agar Bryan terbangun dari tidur panjangnya.
Gamaliel wants a miracle in December.
He keep it on his mind, that everything will be okay. Bryan's will wake up, someday. He's fine with this, but he never said it didn't hurt.
Kemudian, Gamaliel merasakan dirinya ingin ke toilet. Ia sudah menahan ini sedari tadi, akan tetapi ia buru-buru kemari karena ia sudah kerap kali terlambat menjenguk Bryan semenjak ia bekerja di kafe.
Kaki Gama bergerak gelisah, dengan perlahan ia mengusap rambut yang agak kasar Bryan sejenak. "Bry, aku mau ke toilet dulu."
Dan Gama pun berlari ke ruangan yang berada di pojok ruangan Bryan, meninggalkan Bryan yang membuka matanya secara tiba-tiba.
Bryan di sana, terbangun menatap langit-langit ruang inapnya dengan tatapan kosong. Tubuhnya yang kaku tak ingin ia gerakkan, ia hanya berbaring sambil menatap plafon rumah sakit dan melayangkan pikirannya.
I'm back, monolognya dalam hati. Finally, I'm back, Gama.
Tetapi, ia merasakan seperti panas dalam karena terlalu lama tertidur. Kepalanya pening, jadi ia memutuskan untuk kembali memejamkan matanya.
Ia ingin istirahat sebentar lagi.
Meskipun dalam hatinya, ia merasakan euforia untuk beraktivitas lagi, bertemu Brenda, ayahnya, dan juga ... tentu saja, Gamaliel.
Ia bermimpi banyak tentang Gamaliel, ia mendengar banyak hal di dalam ketidaksadarannya kemarin. Ia mendengar suara Gama, ia mendengar banyak cerita tentang Gama, dan dirinya berharap itu adalah nyata adanya. Bukan hanya sekadar bunga di dalam tidurnya.
Ia merindukan lelaki itu. Sangat.
Ia ingin bercerita pada Gamaliel dan menyampaikan bahwa Jessica datang menemuinya, memukulinya dan menangis di depannya. Anak itu merindukan Gamaliel si kakak—
—dan ia ingin memberikan salam perpisahan kepada Gamaliel.
Dalam pejaman matanya ia mengingat kata Jessica; "Kebanyakan manusia selalu menginginkan akhir yang bahagia, padahal sudah tak ada celah untuk bersama."
Bryan mengembuskan napasnya pelan.
Jadi dari kata Jessica, siapa sebenarnya di antara mereka yang memaksakan siapa?
Lelaki Amerika itu lelah, maka dari itu ia tak sadar kembali tertidur. Melewatkan kedatangan Gamaliel yang ingin menjadi orang pertama yang dilihat oleh Bryan begitu lelaki itu terbangun.
•
•
•
•
•Belum. Nggak usah overthinking. Selama belum tamat, pasti bakal dilanjut dan banyak hal ambigu di sini, jadi jangan cepet menyimpulkan sesuatu karena isinya.
Don't expect too much juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomanceBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...