Lima Belas

4.5K 559 30
                                        

"Jessica mana?" tanya Gamaliel setelah keheningan yang cukup panjang melanda ketiganya, memasukkan mereka ke dalam suasana canggung yang mana menimbulkan banyak pertanyaan di benak Gama.

"Jessica ...." Brenda angkat bicara, kepalanya tertunduk enggan menatapnya.

"Jessica ada. Ya, dia ada!" Tiba-tiba Bryan menyela, mengambil alih jawaban Brenda.

"Lalu, ke mana dia sekarang?"

"Dia ... sedang sakit," jawabnya pelan, sedikit terdengar meragu. "Sakit yang tak bisa dijenguk. Dia sedang diisolasi."

Raut Gama langsung berubah, mengernyit khawatir seketika. "Sakit? Sakit apa? Apakah parah sampai harus diisolasi?"

Bryan mengangguk terlihat meyakinkan walau sepintas Gama merasa ganjal. Hei, Gama sudah dua puluh tiga! Sudah tak bisa dibodohi lagi meskipun terkadang dia masih polos—ingat, polos dan bodoh adalah dua kosakata yang berbeda.

"Jessie ... entahlah, bukannya dari dulu dia sakit-sakitan? Ternyata dirinya harus diisolasi."

Gama kembali berpikir. Apa karena penyakit yang tak diketahui ini makanya Jessica tak pernah membalas pesannya lagi?

"Dia tak cocok dengan musim di sini, maka dari itu tak lama setelah sampai ... dia langsung dirawat di rumah sakit sampai sekarang," lanjutnya.

Gama lantas melotot kaget. Berarti sudah sepuluh tahun Jessica dirawat? Diisolasi pula! Kakak macam apa dia yang tak tahu kondisi adiknya sama sekali?

Tubuh Gamaliel langsung melemas, bersandar pada sandaran ranjang dengan lesu. "Jadi, aku tak boleh menemuinya dulu?"

Bryan mengangguk mantap, berusaha terlihat meyakinkan di mata Gama.

Gama pun ikut mengangguk pelan seraya menatap Bryan dan Brenda bergantian. Dapat dilihatnya Bryan yang tersenyum tipis padanya, sedangkan Brenda hanya tersenyum kaku membalas tatapannya.

"Omong-omong, bolehkah aku tinggal di sini sementara waktu? Aku akan mencari pekerjaan di sini, mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Indonesia."

Bryan mendekat, mengusap surai hitam Gama lembut. "Kamu tak perlu memikirkan hal itu. Aku akan menanggungmu selama di sini, untuk biaya pulang pun biarkan jadi tanggung jawabku."

Lelaki berbadan kurus itu lantas manggut-manggut paham. "Kalau begitu aku tak akan lama. Tapi, tolong ... izinkan aku bertemu Jessie. Seandainya penyakit Jessie menular, aku tak apa tertular. Aku merindukannya. Sangat."

Brenda terkesiap di tempatnya, menatap lelaki bersurai hitam itu kasihan. Perempuan itu pun lantas menyentuh dadanya, merasakan detakan Jessica yang bersatu dengan arterinya. Bersatu degan aliran darahnya.

-

"Gamaliel, bagaimana kabarmu?" tanya Mr. Charlie yang terlihat semakin menua. Namun, pria itu kali ini menyambutnya ramah. Tak sombong seperti dulu.

Gamaliel tersenyum tulus, membuat tulang pipinya terangkat tinggi, "Saya baik-baik saja, terima kasih. Dan Anda?"—ciri khas greetings Indonesia sekali.

"Aku juga baik." Mr. Charlie balas tersenyum. "Ada apa jauh-jauh kemari? Apa ada sesuatu?"

"Aku ingin menemui Jessie, Mr. Charlie."

Tak jauh berbeda dari respons Brenda tadi, Mr. Charlie pun menatap Gamaliel terkejut. Apa anak ini belum mengetahui bahwa adiknya telah tiada? Apa pamannya tak memberitahukannya? batin Mr. Charlie.

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang