Bryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...
"Kenapa kau tak makan? Lihat, tubuhmu tipis sekali seperti kapas." Bryan mendorong chicken bucket yang tadinya berada di tengah-tengah meja menjadi lebih condong di hadapan Gama. "Kau tahu? Ayam Indonesia sangatlah asin, aku rasanya seperti tengah mengemili garam," lanjut Bryan.
Bryan memesan ayam tanpa nasi. Tentu saja asin. Ia tak tahu kalau ayam goreng di Indonesia memang kaya bumbu dan rempah sehingga rasanya akan pas jika ditambahi dengan nasi—omong-omong ia baru tahu saat Gama bertanya mengapa tak membeli nasi—padahal menurutnya makan chicken bucket, kentang goreng berukuran besar, dan masing-masing cola berdua saja akan sangat mengenyangkan. Membuatnya menyesal karena hanya membeli satu nasi saja untuk delapan potong ayam.
"Ayo, makan!" ajak Bryan lagi setelah ia menelan ludahnya karena asin yang ia rasakan. "Atau kamu mau membeli nasi lagi? Na-si."
Gama menggeleng canggung. Sebenarnya ia laki-laki, pasti perutnya akan siap menampung semua ini. Tetapi, tiba-tiba bayangan ayah dan sang adik yang sangat jarang memakan ayam itu terlintas di pikirannya. Makan ayam hanyalah saat natal bagi keluarganya, itu pun dirinya harus bekerja lebih keras agar merasakan suasana berbeda di hari itu karena paman yang menghidupi keluarga mereka pun akan sangat enggan membelikan makanan yang terbilang mewah seperti itu. Katanya itu adalah pemborosan—padahal Gama sering melihat Om Doni membeli ayam di sini bersama teman kencannya beberapa kali.
"A-aku boleh ngebungkus ini buat dibawa pulang? I-itu juga kalo kamu udah kenyang," lirih Gama menunduk dengan pipi memerahnya. Demi apa pun, sangat tak sopan meminta bungkus dengan orang yang mentraktir kita makan. Tapi demi keluarganya, Gama membuang rasa malunya.
"Maaf?" Bryan memiringkan kepalanya tak paham, meminta Gama untuk mengulang.
Gama mau menggerakkan tubuhnya, memberikan beberapa gestur untuk Bryan. Tetapi tak bisa karena meja yang menghalangi mereka, sehingga Bryan tak bisa melihatnya dengan jelas. Astaga, dia tak tahu apa bahasa inggrisnya kenyang dan membungkus!
Maka dari itu Gama menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Bryan. Dengan telaten ia menunjuk Bryan untuk artian 'kamu', mengusap perutnya dan bertingkah seperti orang yang kekenyangan—meskipun justru terlihat seperti orang yang teler sehabis minum-minum—dan menutup chicken bucket serta berpura-pura membawa ayam itu dengan langkah riang, pertanda jika ia ingin membawa itu pulang.
Bryan terpingkal di duduknya melihat ekspresi Gama yang seolah berjalan pulang membawa bucket ayam, seperti anak TK yang membawa kotak bekalnya.
Gama menatap Bryan dengan pandangan skeptis, sedikitnya ia salah paham kalau Bryan menertawakan permintaannya untuk membawa pulang sisa makanan ini. Ia kembali duduk dengan kasar, mengerucutkan bibirnya sebal.
Bocah berkebangsaan asli Amerika itu berhenti saat melihat raut kesal Gama. Ia tersenyum sambil mengelus bahu kecil Gama, meminta maaf dan berkata, "Kamu boleh membawa ini semua pulang. Tunggu sebentar, aku mau meminta pelayan untuk membungkus semuanya."
Kemudian ia beranjak dari duduknya ke arah counter yang berada di ujung ruangan.
Sial, di saat merajuk seperti ini membuat Gama makin malas untuk menerjemahkan bahasa Bryan di otaknya. Bryan tak mau serepot dirinya yang harus bergestur seperti Tarzan, lelaki itu lebih memilih menekankan inti kalimatnya atau terkadang melihat mesin penerjemah di ponsel canggihnya jika sudah menyerah.
Gama menatap nanar saat para staf itu membersihkan mejanya, membawa pergi sisa ayam yang mungkin diminta Bryan untuk dibuang. Gama nyaris menangis, orang kaya memang tak akan pernah mengerti budaya sisa makanan adalah untuk dibungkus.
Mata Gama berkaca-kaca karena tak bisa membawa sisa makanan itu pulang.
"Hey, kau menangis?" tanya Bryan tiba-tiba, menyadarkan Gama dari kesedihannya. "Ini, bawalah pulang untuk keluargamu," lanjutnya sembari menyodorkan kantongan plastik besar ke arah Gama.
Gama melotot, ia mengusap air matanya tak jadi sedih. Ia menunjuk kresek besar itu dengan bingung. "Kok jadi banyak?"
Bryan mengangkat bahunya acuh. "Ayo pulang."
-
Lelaki berbadan kecil ini tengah berjalan sangat riang, sangat mirip dengan gestur yang ia tunjukkan tadi pada Bryan. Ia tersenyum lebar saat membawa banyak makanan di tangannya—karena demi Tuhan, ini tak bisa dibilang makanan sisa. Bryan menambahinya dengan sangat banyak.
Gama menatap Bryan bingung, karena mereka telah berpisah beberapa saat yang lalu di depan KFC, dan untuk apa Bryan sekarang ada di hadapannya?
"Aku khawatir padamu karena ini sudah malam, tak baik anak kecil sepertimu berjalan sendirian," kata Bryan seolah mengerti dengan arti tatapan Gama. "Ma-lam, tak boleh sendiri-an!" lafalnya.
"Tapi aku bisa sendiri! Aku kan laki-laki. I am boy!" bela Gama pada dirinya sendiri. Astaga, ini wilayahnya, ia sangat hafal dan berani di sini. Harusnya yang dikhawatirkan itu Bryan, karena bahkan Bryan harus berjalan malam-malam tanpa ada orang yang bisa ditanyai andai dirinya tersesat. Gama takut Bryan justru bertanya pada orang yang salah, pada preman misalnya?
Namun, lelaki bertubuh besar itu bersikeras untuk mengantar. Membuat Gama mengalah pasrah.
"Besok kau ingin ke mana?" tanya Bryan sambil menenteng plastik di tangannya—lelaki ini juga sangat keras kepala membawakan makanan Gama, omong-omong.
"Aku mau ke pantai lagi, jualan asesoris buatanku."
"Aku juga mau ke pantai. Besok jualanmu berikan saja padaku, aku mau membelikan untuk Brenda."
"Brenda siapa?" tanya Gama penasaran, yang sialnya dianggap oleh Bryan adalah pertanyaan kecemburuan—lihat saja tatapan yang Bryan layangkan, terlihat menggoda Gama sekali.
Bryan terkekeh pelan."Brenda, adikku." Tetapi, tak lama wajahnya entah kenapa berubah menjadi sendu. "Dia sedang sakit di sana, maka dari itu ia tak ikut kemari. Padahal mungkin Brenda akan senang denganmu."
"Memangnya Brenda sakit apa?"
"Ia memiliki jantung lemah dari lahir, membuatnya sering bolak-balik ke rumah sakit. Dan sudah hampir dua bulan ini ia benar-benar harus dirawat intensif. Kata dokter, ia harus segera mendapat donor jantung agar bisa tetap hidup. Karena tubuh Brenda tetap berkembang sedangkan organ dalamnya tak ikut berkembang dan kian melemah," papar Bryan sedih. Matanya memanas tiap kali menceritakan adik kesayangannya yang tengah berjuang untuk bertahan hidup.
Gama tertegun mendengar penuturan itu. Ia paham bahasa Bryan—tentu saja sangat paham karena ada aplikasi penerjemah di antara mereka—pun paham dengan perasaan lelaki itu. Ia hanya tak ingin kehilangan adiknya.
"Kita udah sampe." Gama menghentikan langkahnya di depan rumah, bersamaan dengan cerita Bryan yang telah terselesaikan.
Tangan mungil Gama mengusap bahu Bryan lembut, memberikan senyum menenangkan untuk Bryan. "Kamu tahu? Kalo semua orang yakin adikmu sembuh, dia bakal sembuh. Dia punya kakak yang hebat, punya ayah yang hebat juga. Pasti dia akan terus hidup," katanya menguatkan.
Ia mengusap ujung mata Bryan sembari tersenyum manis. Mereka bertatapan cukup lama hingga akhirnya Bryan memeluk tubuh kurus Gama, yang disambut Gama untuk dielusnya punggung bidang kepunyaan Bryan.
"Aku tau kamu kuat, Bryan. Aku harap kalian bakal cepet nemuin pendonor buat Brenda."
• • • • •
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.