Dua Puluh Empat

3.1K 428 44
                                    

"Gama, bangun! Cepat bangun!" teriak seseorang sambil menggedor pintu rumah Brenda yang ditinggali Gama dengan tak santai.

Gamaliel berdecak sambil mengacak surainya kasar. Siapa orang tak sopan yang menggedor pintunya pagi-pagi seperti orang gila? Sungguh, tak beradab sekali.

Dan sialnya, saat pintu dibukakan, Gamaliel langsung memasang wajahnya datar tatkala melihat Zachary si tetangga terdekatnya itu yang sudah tersenyum lebar seperi Sinterklas sambil membawa alat pancing dan beberapa peralatan lainnya.

"Cepat, cuci mukamu, Gama. Dan ayo, kita memancing ikan."

Memancing ikan apanya? Memancing emosi Gamaliel yang ada!

Namun, meskipun Gamaliel bete-nya setengah mati, tetapi pada akhirnya Gamaliel hanya menggumam dan pergi ke toilet yang berada di kamarnya dan bersiap untuk pergi memancing dengan pria tua yang kelebihan rasa semangat itu.

"Gama? Kau tertidur di dalam sana?" Zachary tanpa ada sungkan malah memasuki kamar Gama dan mengetuk pintu kamar mandinya pelan.

Astaga, Gama malas sekali dengan pria satu ini. Semakin dekat, semakin tidak tahu malu. Semakin mengenal, malah semakin mengesalkan.

Namun, Gamaliel sangat tahu. Pria tua itu memang hidup sendirian pasca ditinggal meninggal oleh istrinya empat tahun yang lalu, membuat Zachary menjadi seseorang yang kesepian sehingga begitu menemukan teman seperti Gama, lelaki itu lantas bersemangat sekali merecoki ketenangan Gamaliel.

"Sebentar, aku sedang menggosok gigi!" ujar Gama agak keras dan mempercepat gosokan pada giginya. Sungguh, Gama sangat malas diajak memancing.

Pasti sangat membosankan sekali nantinya.

Tapi, mungkin tidak buruk juga.

Mungkin pergi memancing adalah suatu hal yang terlihat membosankan, tetapi tidak dengan suasana pemancingannya.

Gamaliel terbelalak takjub sambil berdecak kagum tatkala melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya. Gama tak tahu bahwa Amerika—yang terdengar modern dan dielu-elukan teknologinya—ternyata masih memiliki pemandangan alam yang apik, memanjakan matanya.

Ia jadi rindu rumah. Ia rindu rumahnya yang berada di dekat pantai. Rumah di mana ia bertumbuh.

"Indah, bukan?" Zachary menatap Gamaliel dengan raut yakin, membuktikan bahwa ajakannya kemari pasti tak akan membuat Gamaliel menyesal. "Selamat datang di Brandywine Creeks, Gama."

Gamaliel lantas menoleh, memberikan senyum selebar mungkin pada Zachary. "Ini indah sekali. Terima kasih telah membawaku ke sini, Paman."

Zachary balas tersenyum menatap Gamaliel dengan wajahnya yang teduh. Matanya menerawang setelah memutus kontak dengan Gamaliel. Ia teringat mendiang istrinya yang sering dirinya bawa kemari, dulu.

Pria tua itu memulai kisahnya, menceritakan tiap hal pada Gamaliel sembari menunggu ikan mengait pada kailnya.

"... Selain itu, aku juga pernah mengajak kakakku ke sini bersama anaknya. Tapi, aku sudah tak bisa mengajaknya lagi karena ia pindah ke luar negeri waktu itu."

Gamaliel dapat melihat raut sedih pada wajah lelaki setengah abad lebih itu. Ia paham betul bagaimana rasanya ditinggalkan satu per satu oleh orang lain, maka Gama hanya bisa menepuk bahu Zach pelan, guna menguatkan perasaan pria itu.

"Kakakmu pindah ke mana memangnya?" tanya Gama berhati-hati.

Lelaki tua itu hanya mengangkat bahunya lemas, "Aku tak tahu. Tapi, kudengar kakakku sudah kembali ke sini. Namun, entahlah, dirinya tak pernah memberiku kabar."

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang