"Cepat cari Gama, bodoh! Dasar tidak becus! Kenapa lama sekali? Kalian ingin aku mati? Iya?!"
Brenda lagi-lagi mengintip sang kakak dari celah pintu yang ia buka sedikit, melihati Bryan yang kacau dengan telepon yang menempel di telinganya, meneriaki si orang suruhan dengan kasar di ruang kerjanya yang sangat berantakan bak kapal pecah.
Agak bergidik, mata Brenda menyusuri seisi ruangan Bryan yang terdapat banyak kertas berhamburan, banyak pecahan kaca dan keramik, beberapa sampah botol minuman keras, serta bertebaran puntung rokok yang menginvasi lantai ruangan Bryan.
Brenda yang disuguhi penampakan itu hanya bisa membuang napasnya berat. Kondisi Bryan pasca hilangnya Gamaliel ternyata sebegini buruk efeknya, bukan main mengenaskan.
Brak!
Tubuh gadis itu tersentak kaget saat di samping pintu tempatnya berdiri sudah ada kursi kayu yang melayang mengenai dinding, meninggalkan keretakan di titik itu, juga menimbulkan si kursi kayu hancur patah di beberapa bagian.
Brenda yang masih terkejut akan lemparan tiba-tiba itu sontak memutuskan untuk menutup pintu ruang kerja Bryan, masih samar-samar mendengarkan suara bantingan dan pecahan yang berasal dari dalam.
Mata perempuan itu terpejam berat. Gila, kakaknya ini mungkin sudah benar-benar tak tertolong kegilaannya dengan Gamaliel. Gamaliel baru pergi belum ada dua minggu, namun Bryan sudah sebegitu hancur. Lelaki itu berantakan, lelaki itu sudah rusak fisiknya, juga kacau mentalnya.
Bryan yang ia kenal selama ini adalah Bryan yang rapi, wangi, juga bersih. Tapi, sekarang? Kakaknya bahkan tak memakai jasnya dengan benar, entah ia mandi atau tidak Brenda tak tahu. Sekitar mulut Bryan yang biasanya mulus, kini telah ditumbuhi jenggot dan kumis yang mana ia biarkan tak rapi. Brenda berpikir, mungkin jika dibiarkan lama-lama Bryan akan berakhir seperti Tarzan.
Emosi Bryan pun hampir tidak pernah stabil. Kakaknya itu bisa tertawa-tawa seperti berbicara pada Gama ketika dirinya mabuk. Lalu saat menyadari Gama tak ada, lelaki itu akan meraung-raung menangis. Kemudian, Bryan akan mengamuk, merusak beberapa barang saat tak menemukan Gamaliel di penjuru rumah.
Brenda dan para asisten rumah tangga yang bekerja mana berani menghentikan, jadi mau tak mau mereka hanya bisa membereskan kekacauan yang Bryan timbulkan. Ayah mereka yang mengetahui kondisi Bryan pun berakhir pasrah seolah tak terjadi apa-apa. Pria yang lebih dari paruh baya itu sudah lelah menasehati si sulung, bahkan psikolog maupun psikiater yang dikerahkan pun tak bisa diandalkan karena mereka seringkali berakhir babak belur sebelum memeriksa keadaan Bryan.
Bryan benar-benar tak bisa disentuh. Pria itu berubah menjadi sangat berbahaya, apalagi jika dalam keadaan marah. Siapa pun akan ia terjang. Bryan benar-benar berubah menjadi buas dan liar seperti binatang. Tak bisa didekati, tak terjamah, dan tak bisa diganggu sama sekali.
"Gama ... Gama ... Gama ...." Sayup-sayup Brenda mendengar suara Bryan yang terdengar putus asa, menangis lirih setelah puas berteriak meluapkan rasa marah. "Gama ...."
Terdengar pilu, begitu menyayat hati si bungsu. Tapi, ia tak boleh egois, dirinya sudah berjanji akan membebaskan Gama dari belenggu Bryan kemarin, dan ia harus menepati janji itu. Gama sudah cukup menderita karena ulah keluarganya, jadi lebih baik Gama ia jauhkan dari jangkauan Bryan sebagai wujud penebusan dosanya. Sedikit meringankan rasa bersalahnya atas kematian Jessica.
Ia yakin, cepat atau lambat kondisi Bryan akan membaik. Ini hanya karena pria itu belum terbiasa akan keabsenan Gama saja, bukan?
Maka, setelah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, Brenda dengan ragu berjalan meninggalkan Bryan yang masih meraung sembari menyebut nama Gamaliel dari dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomanceBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...