"Antarkan aku ke Jessica," kata Gamaliel dengan wajah datarnya setelah beberapa waktu menangis keras, meratapi kenyataan bahwa adiknya telah tiada. Dan lebih meratap lagi manakala tahu penyebab kematian adiknya adalah hal yang menjadi sumber kebahagiaan Jessica.
Ya, bagaimana perasaan Jessica ketika tahu ia dibawa hanya untuk sebagai pendonor hidup yang dibeli dari pamannya sendiri? Memikirkan hal itu pun membuat hati Gama semakin sakit.
"Gama, kau—"
"Antarkan aku ke Jessica," titahnya lagi tanpa menatap ke arah Bryan.
Bryan si pria berambut cokelat gelap itu pada akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah tanpa bisa membantah. Melihat Gama begini membuatnya merasa sangat bersalah.
Seandainya dulu ia punya nyali untuk berbicara yang sebenarnya pada Gama, atau sekadar menjahati Gama sejak awal alih-alih menyukainya. Pastilah hal ini semakin mudah, biarlah Gama membencinya dari awal, bukannya justru mengembangkan harapan sampai sejauh ini—yang mana hanya untuk menjatuhkan perasaan Gama sedalam-dalamnya seperti sekarang.
"Baiklah," tukas Bryan. "Aku akan mengantarkanmu sekarang ke makam Jessica."
-
"Jessie, Jessie, Jessie ...," gumam Gamaliel sembari menangis di pusara bernisan besar yang dibubuhi nama, tanggal lahir dan tanggal kematian Jessica.
—18 Mei 20xx
Jadi, Jessica memang benar-benar sudah diburu ya kematiannya? Gamaliel ingat, Jessica bahkan berangkat ke Amerika saat itu adalah awal Mei. Dan di sini dituliskan tanggal sedemikian, beberapa hari setelah keberangkatannya.
Apa adiknya pantas mendapatkan hal itu?
Gama menggeleng. Tidak, adiknya tak pantas mendapatkan kekecewaan dan tindak kejahatan dalam segala bentuk apa pun. Adiknya itu gadis yang baik nan cantik, adiknya seharusnya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
"Jessie, maafin aku. Aku salah," sesal Gama dengan tangis yang kian mengeras. "Harusnya aku nggak biarin mereka bawa kamu. Harusnya aku aja yang dibawa mereka, kamu nggak pantes mati kayak gini, Jess."
"Aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku minta maaf." Gama terus mengulang hal itu di dalam sedu sedannya. "Jessie, semoga kamu tenang di sana. Semoga kamu lebih bahagia ketimbang di dunia ini, Jess."
Gama pun menyeka air matanya dengan cepat, berdiri dari simpuhannya. Menghampiri lelaki tinggi besar yang menunggunya sembari tertunduk mengingat kesalahannya.
"Gama—"
"Aku mau pulang," potong Gama dengan muka pucat, namun tetap datarnya. Ia sungguh sudah terlampau muak di sini, "ke Indonesia."
Bryan melotot terkejut. Ia tahu pada akhirnya Gama akan tetap meminta pulang, apalagi setelah tahu kalau adiknya sudah meninggal. Tapi ... entahlah, ada rasa tak rela yang menelusup tatkala Gama ingin kembali ke sana, pergi darinya.
"Gama, apa kau tak ingin di sini dahulu? Mungkin ... kau bisa menemui Jessie—"
"Menemui makam Jessie, maksudmu?" sela Gama dengan tampang sinisnya. "Seharusnya aku menemui Jessica dengan keadaan hidup, bukannya sudah terkubur macam ini."
Jawaban Gama sungguh menohok Bryan dengan benar-benar telak. Ia tahu ia bersalah, dan Gama terus memojokkannya untuk selalu mengingat kesalahannya. Sesuatu yang sebenarnya pantas dirinya terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
Storie d'amoreBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...