Dua Puluh Dua

3.5K 473 34
                                    

Gamaliel tahu betapa Bryan memiliki rasa yang begitu besar pada dirinya, hingga sedikitnya terasa seperti obsesi pada Gama. Terasa sangat gila jika Gama membayangkan betapa Bryan benar-benar mengunci dirinya.

Lelaki dua puluh enam tahun itu memang bertekad untuk menyekap yang lebih muda untuk dirinya sendiri, malahan cenderung berlebihan di mata Gama dan Brenda.

Seperti saat ini ....

"Bryan, kau gila? Gamaliel hanya ingin mengunjungi adiknya bersamaku, bukannya mau pergi ke mana-mana. Untuk apa para bodyguard itu?" Brenda berteriak protes. Kakaknya seperti orang sakit jiwa yang takut kehilangan miliknya.

Brenda sampai berpikir, Bryan sungguh tak memercayai siapa pun jika itu berhubungan dengan Gamaliel. Bahkan pada Brenda, si adik kesayangannya.

Brenda tampak frustrasi, kakaknya ini sudah seperti zombi dengan kantung hitam di sekitaran netra yang menyertai. Ia sadar, kakaknya memang mengerahkan seluruh kekuatannya agar Gamaliel tidak lari darinya—berhubung Gama memang sedikit nakal karena sering kali mencoba untuk meloloskan diri.

"Kami tak membutuhkan pengawasan siapa pun. Aku juga tak mungkin membawa Gamaliel pergi ke mana pun, Bry." Brenda berusaha meyakinkan saudaranya itu. "Percayalah, Gamaliel aman bersamaku."

Si sulung Johnson ingin menolak. Namun, tatapan Brenda meruntuhkan egonya. Pada akhirnya pria itu hanya bisa mengangguk pasrah ketika Gama digandeng oleh Brenda memasuki mobilnya.

Tanpa pengawasan.

Bryan percaya, Brenda akan menjaga Gama untuknya. Ia tahu, adiknya ini tak mungkin tega untuk memisahkan dirinya dan si lelaki Indonesia itu.

-

—Atau mungkin tidak.

Setelah dari pemakaman Jessica, Brenda membawa Gama ke suatu pegunungan yang dikelilingi oleh hutan.

"Kita mau ke mana, Brenda?" tanya Gama dengan tatapan bingungnya ketika sejauh mata memandang, dirinya hanya melihat pepohonan rimbun sehingga cahaya matahari sore tak masuk dengan benar menyinari jalanan.

"Ke tempatku. Tempat penyembuhanmu."

Tapi, penyembuhan untuk apa? Batin Gamaliel bertanya-tanya, sedikit tak mengerti dengan ucapan Brenda.

Namun, pada akhirnya Gama cuma diam, enggan bertanya lagi. Entahlah, beberapa waktu ke belakang, Gama merasa mudah sekali lelah. Untuk berbicara beberapa kata pun rasanya seperti menyerap separuh energinya.

Jadi, Gama hanya bisa membuang napasnya pelan dan membanting dirinya ke sandaran jok mobil Brenda, menatap jalanan sembari menerka ke mana dirinya akan dibawa.

"Ya, kita sudah sampai."

Sudah dua jam perjalanan, dan akhirnya mobil itu berhenti di sebuah rumah kecil berhalaman luas, khas rumah peternak di sebuah pedesaan. Perempuan seumur Jessica itu pun menyuruh Gama turun setelah meregangkan tubuhnya sambil menghirup udara sejuk ini dalam-dalam.

"Kau aman di sini, Gama." Gadis itu menepuk bahu Gamaliel seraya tersenyum lembut. "Kuharap kau bisa memulihkan dirimu di sini, mencari sebuah ketenangan dan kehidupan yang sedikit bebas. Seperti maumu. Aku tak mungkin membawamu ke Indonesia karena sangat riskan untuk kembali ke sana dengan keadaan Bryan yang sebegitu toxic-nya pada dirimu."

Mengingat Bryan membuat dada Brenda sesak. Sedikitnya ada rasa bersalah yang merasuk ke dalam hatinya akan keputusannya yang satu ini pada Bryan.

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang