Dua Puluh Satu

4.1K 524 53
                                    

Gama termenung di tengah kegelapan yang menyergapi kamar Bryan. Ia sudah terbangun dari tadi, namun tak berani bergerak barang satu inci. Ia memang setakut itu untuk membuat Bryan terbangun dari tidurnya yang terlihat nyenyak sembari melingkarkan tangannya rapat-rapat pada pinggang Gamaliel, mencegah lelaki ini untuk kembali lari.

Pria indonesia ini pun hanya bisa menghela napasnya pasrah. Ia sudah lelah, entah lelah fisik maupun pikiran. Badannya sudah terlampau pegal untuk menjauhi Bryan. Apalagi dari efek obat penenang yang mungkin disuntikkan padanya, membuat tidurnya nyaman—namun tetap saja, badan tak bisa dibohongi untuk tetap merasa remuk karena terlalu kecapekan.

Ia kembali melayangkan pikirannya ke masa lalu, kembali menyesali semua yang telah terjadi pada adiknya, Jessica, yang mana membuat keluarganya porakporanda. Habis tak bersisa.

Dan sekarang, ia benar-benar sendirian.

Overthinking memang jahat sekali, membuat Gamaliel kembali sakit di dalam pikirannya, merasuk hingga ke hatinya.

Anak itu merasa sangat kesakitan, sungguh. Ia kecewa dengan dirinya sendiri. Seandainya dulu ia bukanlah bocah naif yang selalu mudah dibodohi oleh sang paman, Doni.

Seandainya dulu ia anak yang bisa berkata tidak pada Jessie dan tak lemah akan tatapan mengiba anak itu.

Seandainya ia mau bersikap egois untuk ikut ke Amerika—ya, diiming-imingi kehidupan yang lebih baik, membuat Gamaliel sedikitnya tergoda untuk ikut. Jikalau benar ia dulu diadopsi, ia bertekad akan mengirimkan uang secara terus-terusan agar ekonomi keluarganya membaik. Agar Jessica betah di rumah, makan dengan enak dan bisa membeli alat kecantikan sebanyak yang anak itu inginkan.

Kalaupun dulu ia ikut ke Amerika, meskipun dengan jaminan nyawanya yang akan diputus guna diambil organnya, ia tak apa. Keluarganya tak akan hancur seperti sekarang. Pamannya tak akan bunuh diri karena overdosis, Jessie tak akan mati dan tak akan tahu kalau Gamaliel sudah tidak hidup, juga ... mungkin ayahnya akan hidup lebih lama daripada sekarang. Ayahnya sangat menyayangi, Jessie 'kan? Jessica sangat mirip mendiang ibu mereka, membuat sang ayah melabeli Jessie sebagai alasan untuk beliau bertahan hidup. Namun, karena terlalu stres pasca ditinggal Jessica, kondisi sang ayah pun menurun drastis. Membuat beliau seringkali drop dan dibawa ke rumah sakit.

Aaah ....

Gamaliel kembali mengembuskan napasnya pasrah. Semua terjadi begitu tiba-tiba menjeratnya dan berlomba-lomba mengecewakannya. Menyakitinya. Membunuhnya secara perlahan. Karena Gamaliel bersumpah, tak ada alasan baginya untuk terus bertahan.

Lelaki Asia ini pun lantas berbalik badan, menatap wajah Bryan yang tertidur damai. Yang mana membuat Gamaliel sedikit bisa leluasa bernapas, merasa sedikit aman meskipun tak banyak. Karena demi apa pun, semenjak acara kaburnya kemarin membuat sisi gelap Bryan menguar. Membuatnya takut untuk sekadar melawan.

Kontur wajah itu masih terasa sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hanya saja rahang itu semakin menegas, bentuk wajah itu lebih dewasa daripada yang dulu. Tak banyak hal yang berubah pada wajah Bryan. Namun, mengapa sifat lelaki itu jauh berbeda dari Bryan yang dikenalnya dulu?

"Kau terbangun dan tak bisa kembali tidur, hm?"

Tubuh Gama seketika menegang mendengar suara Bryan yang pelan, tetapi terasa sangat dalam dengan suara seraknya efek baru tidur.

Lelaki yang lebih tua dari Gama tiga tahun itu semakin mengetatkan pelukannya. Membawa tubuh kecil Gamaliel ke dalam dekapan dadanya. Gama bisa merasakan napas hangat lelaki Amerika itu menyapu lehernya.

"Apakah kau lapar atau kehausan?" Ia berbisik dengan penuh perhatian, tetapi karena sedikit trauma justru membuat Gama menahan napasnya. Karena sungguh, ia merasa Bryan bangun sama dengan ancaman baginya.

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang