"Gama, ini," kata Jessica setibanya mereka di rumah, menyerahkan sebuah kotak berlogokan apel digigit dengan warna putih yang terlihat menyala di logonya.
"Apa ini?" tanya Gama kebingungan.
"HP."
Oke, dirinya tahu itu ponsel—yang seketika mengingatkan Gama dengan ponsel Bryan, tetapi ukurannya besaran punya Bryan—hanya saja ... untuk apa adiknya memberikannya ini? Dapat dari mana Jessica barang mahal begini?
Jessica tahu, orang serumit Gama pasti akan banyak tanya dan enggan menerima barang ini secara cuma-cuma. Maka dari itu, tanpa ditanyai yang membuatnya emosi—dirinya ingin pergi dengan mood yang bagus besok—gadis itu lantas berinisiatif memaparkan.
"Aku dibeliin Om Doni buat kenang-kenangan. Terus, aku minta beli sepasang biar bisa teleponan sama kamu dan ayah. Aku yakin kamu bakalan kangen aku nantinya."
Mendengar kalimat terakhir Jessica, mata Gama langsung memanas. Sedari kemarin ia sudah menahan kesedihannya, jnagan sampai air mata ketidakrelaannya keluar di depan sang adik kesayangan.
"Huaaah," Gadis itu membuang napasnya lega tanpa melihat Gama, "baru kali ini aku pergi jauh. Ke negara impianku, keluarga impianku, kehidupan impianku. Aku pasti bakal bahagia banget di sana."
"Kamu tenang aja, Gam. Aku bakal baik-baik aja kok di sana, jadi kamu nggak perlu repot-repot ngurusin aku lagi. Fokusmu cuma ke ayah aja mulai sekarang."
"Aku juga nggak bakal ngelupain kalian kok, kalian kan tetep keluarga asliku. Aku bakal sering hubungin kalian nanti."
Gadis itu terus berceloteh dengan mata menerawangnya, membayangkan bagaimana kehidupannya di Amerika nanti. Membayangkan akan bersekolah dengan teman-teman yang hits tak kampungan seperti di sini, memiliki tetangga bule yang keren, memiliki keluarga kaya, memiliki saudara setampan Bryan, dan lain-lain.
Baru membayangkan saja gadis itu sudah senang setengah mati, membuat sebuah senyuman lebar kian mematri.
Gama menundukkan kepalanya sembari meremas seprai bermotif garis-garis milik adiknya. Ya, malam ini ia memutuskan untuk tidur bersama sang adik untuk terakhir kalinya. Menikmati waktu yang tak lebih dari dua puluh empat jam yang tersisa untuk kedua bersaudara itu.
Seharusnya ia tidur bersama ayahnya saja, alih-alih tidur di sini yang membuat hatinya sakit. Tapi ... melihat kebahagiaan Jessica membuat Gama mau tak mau harus mengikhlaskan. Ini demi adiknya, kebaikan adik kesayangannya.
"Gama, kamu nangis?" tanya gadis berambut panjang itu panik.
Bagaimana tidak panik? Dirinya asyik bercerita, saat menoleh justru melihat wajah kakaknya yang sudah dibanjiri air mata—serius, Gama bahkan tak sadar jika pipinya sudah basah.
"Aku ... nggak—hiks—nangis," ucapnya sambil menyeka pipinya. Namun, air matanya bahkan kian menderas tak mau berhenti.
"Aku ... nggak nang—hiks—is."
"Aku nggak pa-pa—hiks—aku nggak na—hiks."
Melihat sulung Andreas itu menangis membuat Jessica terenyuh. Ia sadar betapa sayangnya Gama pada dirinya, tapi kebahagiaanya saat ini bukan pada Gama atau keluarganya. Ia ingin menjadi egois, kali ini saja.
"Kak Gama," sebut Jessica untuk pertama kalinya setelah sekian tahun tak memanggil Gama seperti itu. "Maaf."
"Kamu nggak salah," ujar Gama dengan sesenggukan dan wajah yang kian memerah. "Aku yang salah karena nggak bisa bahagiain kamu."
Si bungsu lantas menarik tubuh Gama yang sama kecilnya dengan dirinya, merapatkan badan keduanya untuk berpelukan penuh perasaan. Ah, kapan terakhir kali dirinya memeluk sang kakak, ya?
"Aku sayang banget sama kamu, Jess. Apa pun bakal aku lakuin buat kebahagiaan kamu. Bahkan kalo Amerika itu adalah sumber bahagiamu, aku nggak pa-pa," lirih lelaki itu dengan suara tersendat-sendat, berlomba keluar dengan isakan yang tertahan.
"Aku juga sayang Kakak," balas Jessica sambil mengelus punggung sempit Gamaliel. "Aku bakal sering hubungin Kak Gama."
"Aku juga," sahut Gama cepat. Ia pun menarik dirinya dari pelukan sang adik guna menilik mata indah Jessica. "Aku bakal nabung buat nyusul kamu ke sana, jenguk kamu. Mastiin kamu bahagia bareng Bryan sekeluarga."
Gadis itu mengangguk seraya tersenyum manis. "Iya, aku juga bakal pulang kalo ada libur panjang."
"Jangan lupa telepon," peringat Gama.
Lagi-lagi Jessie mengangguk mantap. "Iya. Kamu juga jangan lupa nabung buat nyusul aku nanti."
"Udah, Jess, aku capek nangis," ungkap Gama sambil terkekeh terpaksa. "Ayo, tidur."
Jessica mengiyakan. Ia pun memosisikan dirinya menghadap tembok, merebahkan tubuhnya memunggungi Gama yang sedang menarik seprai yang sempat kusut agar lebih nyaman ditiduri.
Setelah itu, Gama pun mengatur posisinya sendiri. Ikut memunggungi Jessica.
Ia tak mengantuk, ia tak bisa tidur. Ia takut jika ia tidur, besok saat bangun Jessica tidak akan berada di sisinya dan akan pergi tanpa pamit.
Bocah lelaki itu terpekur melihati lantai yang terdapat sendal cantik Jessica, hadiah buatannya untul acara natal lalu.
Mata bengkak itu juga menelusuri dinding di seberangnya yang terdapat foto-foto Jessica dari bayi maupun foto terbaru gadis itu. Foto bersama ayah, dirinya dan Jessie yang tadi siang diambilnya pun sudah terpajang apik di sana. Menjadi sebuah memoar bahwa gadis itu adalah kesayangan di keluarganya.
Lelaki tiga belas tahun itu kembali merasakan air matanya memaksa untuk keluar, mengaburkan pandangannya di remangnya malam yang bercahayakan pantulan bulan, memasuki jendela kamar.
Anak itu kembali menangis. Perpisahan itu telah menggerogoti sisa kesabarannya selama ini, membuat rasa ikhlas yang selama ini ia pendam berubah menjadi ketidakrelaan.
Tidak rela karena sang adik lebih memilih abang seperti Bryan ketimbang dirinya. Ia sadar diri, dirinya tak lebih dari seorang kakak yang lemah, pecundang, cengeng, cerewet—ah, apa lagi?
"Jessie," gumamnya sembari menahan isakannya dengan telapak tangan. Berharap Jessica tidak mendengar tangisan pilunya di tengah malam.
"Kakak," Jessica tiba-tiba bergerak, memeluk sang kakak dari belakang, "jangan nangis. Semuanya bakal baik-baik aja, kok."
Gamaliel mengangguk, tak mau berbalik menatap sang adik. Ia tidak ingin tangisannya menjadi beban bagi si bungsu Andreas yang cantik.
"Jessie," lirihnya lagi. "Kakak sayang kamu, selalu. Pergilah dengan hati yang bahagia, jalani baik-baik hidupmu di sana, kembalilah nanti dengan kebahagiaan juga," pesannya.
Namun, tak ada sahutan.
Maka dari itu Gamaliel berbalik, menatap wajah sang adik yang sudah tertidur pulas cantik dengan muka damainya. Terlihat sangat polos jika sedang tidak dalam mode badmood-nya.
"Tuhan tau sebegimananya kakak sayang kamu dan ayah lebih dari apa pun di dunia ini. Semoga Tuhan selalu memberkatimu di mana pun kamu berada, Jessie. Amin."
•
•
•
•
•Gatau ak lg menye ew.
Btw, maapin klo ad typo2. Kebaisaan klo nulis sambil ngecharge suka lambat keyboardnya dan ak mls edit. Gembel emg:")
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
Roman d'amourBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...