Dua Puluh

4.4K 503 60
                                    

Bryan kecil saat itu hanyalah anak manja yang senang ikut dengan ayahnya ke mana pun ayahnya pergi. Berlagak semaunya, karena merasa bisa mendapatkan semua yang dirinya inginkan.

Hingga suatu ketika adiknya-Brenda-yang sempat tak lama ke rumah sakit setelah sekian lama, kembali ke tempat paling mengerikan bagi Bryan-selain pemakaman, tentu saja-itu. Keluar-masuk rumah sakit selama beberapa bulan lamanya.

Hingga pada usia delapan tahun, akhirnya si bungsu Johnson itu harus menetap di rumah sakit jika tak ingin detakan pada jantungnya itu terhenti. Bertahan untuk hidup tempat di mana hanya bisa mencium aroma obat-obatan di sekelilingnya.

Di situlah Bryan si anak manja berubah menjadi sosok kakak yang ingin mencurahkan semuanya bagi Brenda. Apa pun akan Bryan lakukan demi sang adik kesayangan ....

... Meskipun harus mengorbankan orang lain.

-

"Bryan, Ayah ada urusan di luar negeri. Ayah menitipkan Brenda padamu, bisa?" tanya sang ayah kala itu.

"Ayah ingin bekerja di saat Brenda sedang lemah seperti ini? Brenda bahkan baru saja melewati kritisnya dan ayah sudah mau pergi?" Anak enam belas tahun berbicara dengan nada keras kepalanya, tak memedulikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka, melempari keduanya dengan tatapan terang-terangan ingin tahu.

"Bryan, kau tidak perlu tahu apa urusan ayah. Yang jelas ayah sedang berusaha agar Brenda tetap hidup!" Mr. Charlie menekan kata-katanya agar tak kelepasan untuk berbicara keras pada si sulung Johson itu.

"Berusaha dengan terus-terusan bekerja? Apa semua harta ayah sudah tak bersisa, hingga ayah terus mencari uang sedangkan ... DEMI TUHAN, Ayah! Brenda membutuhkan kita. Nyatanya, uang sudah hampir tak berarti kalau nyawa sudah di ujung tanduk seperti Brenda, Ayah ...." Bryan menunduk, merasa sedih karena mengingat ucapan dokter yang menancap sangat dalam di otaknya sejak semalam.

Ia mengingat tiap kata yang diucapkan oleh sang dokter kepada ayahnya.

Brenda butuh pendonor itu segera jika ingin tetap hidup. Atau adiknya akan benar-benar tamat setelah ini.

Karena sudah hampir empat tahun Brenda bergantung pada obat-obatan dan perawatan intensif pun, rasanya itu hanya menghambat agar Brenda tidak mati cepat. Bukan menyembuhkan. Sialan.

Dan lebih sialan lagi adalah; menemukan jantung yang cocok untuk Brenda bukanlah perkara yang mudah.

Remaja enam belas tahun itu merasakan kedua bahunya diremas oleh sang ayah pelan. Dengan tatapan penuh keyakinan ayahnya berujar, "Bryan, ayah ... ingin mencari orang yang akan membuat Brenda tetap hidup."

"Apakah itu pendonor?"

Hening beberapa saat. Ayahnya bungkam, namun Bryan terus menunggu untuk sebuah jawaban.

"Ayah, apakah ayah akan bertemu seorang pendonor untuk Brenda?"

"Umm ... begini, mungkin ... ya. Tapi ayah membeli seorang anak untuk-"

"Jangan bilang ayah membeli anak untuk mendonorkan jantungnya secara paksa untuk Brenda, ayah!" potong anak itu keras.

Mr. Johnson terlihat kaget beberapa saat. Ucapan itu terlalu kasar-meskipun memang itu adanya.

Pria paruh baya itu lantas melihat sekeliling, tersenyum canggung pada para manusia yang mengerahkan atensinya pada kedua lelaki itu karena kalimat yang mengundang ambigu dari anaknya barusan.

Tak ingin memperpanjang obrolan, Mr. Charlie pun berbisik dengan cepat. "Bukan. Ayah akan membeli anak untuk di ... adopsi ...?"

Terdengar tak yakin memang. Tapi Bryan sadar, sang ayah tak mungkin tega untuk memberhentikan kehidupan orang lain demi penghidupannya sendiri. Ayahnya adalah orang terbaik-selain Brenda-yang pernah ia kenal.

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang