"Bagaimanapun caranya, tolong bantu Bryan agar tetap hidup. Saya akan membayar berapa pun untuk kesembuhan anak saya ...."
Itulah hal yang Gamaliel dengar saat dirinya baru kembali dari toilet rumah sakit.
"Kami akan melakukan yang terbaik agar Tuan Bryan bisa bangun dan pulih. Kami akan selalu berusaha sebisa mungkin, Anda cukup berdoa saja agar Bryan bisa melewati ini."
Kemudian, untuk pertama kalinya Gamaliel melihat Tuan Johnson memohon dengan putus asa pada orang lain. Mungkin keangkuhan beliau sedikit meluruh karena kejadian ini, membuat pria tua itu menyadari bahwa dalam hidup, kita memang tak luput dari bantuan orang lain. Sekuat-kuatnya kita, pasti ada titik lemah. Semandiri-mandirinya kita, pasti ada waktu di mana kita butuh orang lain untuk tetap berdiri.
Dan mungkin, memang inilah titik berat yang harus Charlie Johnson itu lewati.
"Iya, tolong usahakan yang terbaik untuk anak saya, Dok," kata Mr. Charlie, yang mana hanya dijawab dengan senyuman tipis disertai dengan usapan bahu dari dokter tersebut.
Semuanya tahu, Bryan tidak baik-baik saja. Sehingga membuat semua orang berharap-harap cemas akan keselamatan lelaki itu. Bagaimana tidak? Kondisi Bryan terus menurun pasca dibawa ke rumah sakit delapan jam yang lalu.
Brenda terus menangis sehingga gadis itu ikut dirawat karena bolak-balik pingsan, tentu saja gadis itu adalah pihak yang paling tertekan di sini—mengingat dirinya yang menyebabkan Bryan sampai begini.
Ayah Bryan sedari tadi mengecek keadaan Bryan, tak ingin meninggalkan ruangan Bryan barang sedetik pun karena takut jika ia lengah, maka Bryan akan meninggalkannya. Bagaimanapun, Bryan dan Brenda adalah kesayangannya. Baginya, anak adalah segalanya setelah mendiang istrinya pergi meninggalkan dunia. Gama sangat paham itu.
Dan dirinya? Entahlah, rasanya ia hanya seorang pengecut di sini. Sampai sekarang ia belum berani untuk memasuki kamar lelaki itu di kala keluarga Bryan maupun Valen sudah masuk ke sana, melihat kondisi Bryan.
Bukannya enggan, ia hanya takut. Ia takut menemui Bryan, ia merasa sangat bersalah karena dirinyalah sumber masalah Bryan sesungguhnya. Ia yang membuat Bryan hancur dan berakhir terbaring tak berdaya di dalam sana, bukan?
"Gama, mau sampai kapan?" tanya Valen setelah beres menghubungi ibunya, "Mau sampai kapan kamu cuma nungguin Bryan di luar? Dia butuh kamu, aku yakin dia mau ketemu sama kamu."
Gamaliel menggeleng pelan, "Setelah semua ini, bukannya dia malah ngebenci aku? Dia pasti marah sama aku, Len. Dia ...."
Valen mengembuskan napasnya pelan, terlampau hafal dengan kebiasaan overthinking Gama. Lelaki itu acap kali menyalahkan dirinya sendiri, pun terlalu banyak memikirkan orang lain ketimbang diri sendiri.
"Gama, mana bisa Bryan ngebenci kamu? Bukannya sampai sekarang dia begini karena rasa frustrasi dari cintanya dia? Jangan selalu percaya satu sisi, entah satu sisi dari orang lain atau bahkan sisi pemikiranmu sendiri, Gama. Ini bukan cuma tentang Bryan, bukan cuma tentang kamu. Ini tentang kalian," papar Valen, berusaha membuka pikiran Gamaliel.
Yang diajak bicara hanya bisa termenung sebentar. Ia bimbang, sungguh. Perkataan Valen ada benarnya, namun rasa ragu itu masih melingkupi hatinya.
"Mamaku tau aku udah di Brooklyn lagi, jadi aku harus pulang. Kamu mau ikut aku balik atau mau nungguin Bryan?"
Gama terdiam, seolah tengah menimang-nimang jawaban atas pertanyaan Valen.
"Aku mau di sini aja—"
Valen lantas merekahkan senyumnya, akhirnya Gama mau—
"—nemenin Brenda."
—dan Valen langsung melunturkan senyumnya. Gama dengan overthinking-nya benar-benar keras sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomanceBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...