Bru kepikiran. Untuk memudahkan cerita, percakapan yg ditulis italic atau huruf miring adalah bahasa asing.
[Sebenernya ini season 2.]
***
Beberapa tahun kemudian ....
"Ini aku harus ke mana lagi?" Seorang laki-laki berumur dua puluh tahunan itu terlihat kebingungan di tengah-tengah keramaian kota New York.
Laki-laki itu mendadak menyesali kenekatannya yang tak membekali dirinya dengan apa pun selain uang yang sangat mepet untuk berkunjung di negara besar macam ini.
Ia kebingungan. Sungguh. Ia hanya tahu kalau saudarinya ini tinggal di New York, tapi entah di bagian mananya. Yang dia tak tahu adalah New York adalah kota yang lumayan besar. Belum lagi terkendala bahasanya yang masih patah-patah.
"P-permisi?" Sebut saja anak itu Gamaliel, memberanikan dirinya untuk menegur orang lain.
Pria berambut merah dengan netra berwarna hijau itu menatap Gamaliel dengan alis terangkat satu, terlihat sedikit tak suka acara menonton di toko televisi yang sedang memutar potongan film itu diganggu.
"Ada apa?"
"Apa ... Anda mengetahui di mana itu Brooklyn?" tanya Gama dengan pelan. Tampang orang ini terlihat sangar.
Alih-alih menjawab, lelaki itu justru balik bertanya, "Kau orang mana memangnya?"
"Indonesia."
Pria itu manggut-manggut paham. Lalu, tak lama ia tersenyum lebar, nyaris menyeringai. "Brooklyn dekat dari sini, aku akan mengantarkanmu. Ayo, ikut aku."
Dan dengan lugunya, Gamaliel mengekori orang asing itu. Tak mengetahui bahwa kriminalitas masihlah mengintai di tempat ini.
"Apa masih jauh?" cicit Gama.
Entahlah, sudah lebih dari lima belas menit ia mengekori si surai merah. Terasa semakin jauh dari hiruk pikuk perkotaan, bahkan daerah ini sudah sedikit sepi.
"Tidak, sebentar lagi," sahut pria itu dengan masih berjalan memimpin Gamaliel.
Hingga tak berselang lama, si pria bersurai merah menghentikan langkahnya di sebuah gang jalan buntu yang kumuh.
"Di sini ...."
"Apa?" Gama membeo tak percaya.
Tak mungkin ini Brooklyn, ia yakin seratus persen. Bukannya Mr. Charlie dan Bryan adalah orang kaya? Tak mungkin mereka tinggal di daerah sepi nan kumuh seperti ini.
"Kurasa ... Anda salah menunjukkan, Tuan," ucap Gama. "Terima kasih sudah mengantarkan, tapi saya pikir saya lebih baik ke kantor polisi atau ke tempat informasi saja."
Gama pun berbalik, ingin ke tempat ramai seperti tadi.
Bugh!
Namun, baru saja dirinya berjalan hendak meninggalkan tempat itu, lelaki bersurai merah itu menarik lengannya dan menonjok perutnya.
Gama lantas merasakan perutnya melilit nyeri. Serius, bagi tubuh Gama, pukulan itu sakit sekali.
"Tuan—"
Bugh!
"Berikan seluruh uangmu!" palaknya.
Gama menggeleng sambil meringis sakit. Ini bukan negaranya, dan ia tak kenal siapa-siapa di sini. Jika ia memberikan uangnya, bagaimana ia bisa hidup dan pulang nanti?

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomantikBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...