"Argh! Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran Gama?! Mengapa dirinya nekat sekali!" celoteh Bryan sambil mengacak surai kecokelatannya kasar. Dirinya frustrasi, sungguh.
Ia ingat kalau dulu Gamaliel adalah sosok yang sangat sabar, logikanya pun jalan. Tapi, mengapa sekarang Gama malah menjadi seorang pria nekat yang sangat gegabah dalam mengambil keputusan? Ia pikir mati adalah pilihan? Tidak. Itu adalah simbol keputusasaan.
Seharusnya Gamaliel berpikir sampai ke sana, alih-alih mengambil langkah bodoh untuk menyusul Jessica.
"Bryan, kontrol emosimu," seru Brenda sambil berkacak pinggang menatap sang kakak yang sedari tadi menggerutu kesal. "Dirinya hanya merasa sangat tertekan dan ... kecewa. Pikirannya sedang sangat keruh untuk sekadar memakai nalarnya, Bry."
"Tapi kau tahu kalau itu bukan satu-satunya jalan untuk menghilangkan rasa tertekan maupun kekecewaannya, Brenda."
Brenda menatap sang kakak sendu. Bryan tak tahu rasanya sedih, tertekan, sampai dihantui oleh kematian. Brenda tahu persis apa yang dirasakan Gama, dirinya pernah di posisi itu.
Ingin menyerah karena kematian serasa sudah di pelupuk mata, sedih, tertekan. Ia pernah, dan itu adalah mimpi terburuknya sampai sekarang.
Dalam kasus Gama, lelaki itu dihantui oleh kematian adiknya. Ia merasa bersalah karena membiarkan keluarga Johnson membawa adiknya dulu. Gamaliel merasa turut andil dalam kematian Jessica. Seandainya ... seandainya, dia tak mengalah untuk pergi ke Amerika, sudahlah pasti Jessica masih bisa tersenyum di depan kaca kamarnya. Membanggakan kecantikannya sendiri.
"Bryan," panggil Brenda lirih. "Kalau dulu kalian tak mendapatkan Gamaliel atau Jessica, apakah kau rela kalau aku mati?"
Bryan tercenung seketika. Mendadak ia membayangkan apa jadinya kehidupannya kalau Brenda meninggalkannya? Apa mungkin dirinya akan bertindak seperti Gama?
"Dulu waktu aku kejang di umur sepuluh dan dinyatakan sangat urgent akan pendonor, kamu bahkan nyaris membunuh dirimu sendiri, Bry. Kamu nyaris memberikan jantungmu padaku."
Lagi-lagi Bryan seolah ditampar oleh kenyataan. Ia tak seharusnya menyalahkan kondisi Gama sekarang, tapi justru dirinya harus instropeksi. Karena keluarganya adalah dalang dari kematian adik Gamaliel.
Pria itu lantas menunduk, merasa menyesali kebodohannya. "Maaf."
"Sekarang, temui Gamaliel di ruang inapnya. Jangan memarahinya, ia tak salah. Tolong pahami dia, Bry."
-
Gama mengerjapkan matanya linglung, mencoba membiasakan bias cahaya yang menusuk netranya. Ia bingung, kenapa sekarang dirinya berada di rumah sakit?
"Gama, kau sudah sadar?"
"Hah?" Gama menelengkan kepalanya tak paham. "Memangnya aku kenapa?"
Bryan ikut bingung. Apa Gama mengalami amnesia? Tapi, Gama tidak terbentur apa-apa kok.
"Kau tidak ingat?" tanya si bongsor yang hanya dijawab gelengan oleh Gamaliel. "Kamu nyaris meregang nyawa karena menenggelamkan dirimu di bathtub, Gama! Astaga, bagaimana bisa kau lupa!"
Gama mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Ia masih tak paham mengapa ia bisa tenggelam di bathtub tanpa sadar. Ia hanya ingat dirinya melamun dan mungkin jatuh tertidur. Ia membayangkan Jessica, dan Gama berusaha meraihnya. Sungguh hal Itu di luar sadarnya, sama sekali di luar kendalinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomanceBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...