From: Brenda
Bersantailah di sana. Perbaiki gizi dan perbaiki dirimu, kau jelek sekali kalau kurus begitu. Lol. Di belakang rumah ada peternakan milik tetanggaku, bermainlah ke sana selagi bosan. Jangan lupa makan dan cukur kumismu astaga, kau tak pantas berkumis!Gamaliel menggeleng sembari terkekeh membaca deretan pesan Brenda itu. Gadis itu sangat cerewet, bahkan ketika di pesan pun sama. Gama bisa membayangkan ekspresi perempuan itu tatkala memberinya petuah sepanjang ini.
Ia langsung menaruh ponsel pemberian Brenda di samping wastafel, kemudian ia berkaca. Memperhatikan wajahnya di cermin setengah badan yang berada di toilet rumah Brenda.
Si bungsu Johnson itu benar, dirinya memang jelek sekali sekarang.
Gamaliel menilik mukanya yang jauh dari kata baik-baik saja. Dengan pipi tirus, pucat, kantung mata tebal dan kehitaman di sekitar mata, komedo yang mulai nampak kehitaman, pun bibir kering pucat.
Dirinya baru menyadari hal ini, karena demi apa pun, ia tak kepikiran sama sekali untuk memperhatikan dirinya sendiri. Ia tak bisa berpikir hal lain, apalagi tentang penampilan yang terasa sangat sepele baginya. Benar-benar dirinya tak memikirkan apa pun selain bagaimana cara lari dari jeratan Bryan.
Dan sekarang, ia sudah bebas—meskipun ia tak tahu sampai kapan harus bersembunyi di sini, sampai kapan ia bisa terus aman tanpa ditemukan oleh Bryan.
Ia hanya berharap bisa menggenggam sebuah ketenangan, meraup sebuah rasa aman, dan berlindung dari setiap ancaman. Hidup tenteram dan nyaman.
Semoga. Semoga ia bisa terus bernapas lega seperti ini.
Gamaliel lantas menghirup udara banyak-banyak, mengembuskannya pelan dan tersenyum di depan kaca.
"Ayo, Gama. Sekarang waktunya memperbaiki diri. Kamu jelek banget!" monolognya.
Lalu, Gamaliel memakai shaving foam serta pencukur kumis dan membersihkan rambut-rambut di atas bibirnya itu sampai habis. Ia ingin mengembalikan ketampanannya, serius.
"Nah, Gama, sekarang udah lumayan cakep."
Agak norak, tapi tidak apa-apa. Sudah lama dirinya tak dapat reward atas dirinya sendiri. Sekali-kali memuji diri itu perlu. Kalau bukan diri sendiri yang menghargai, siapa lagi, 'kan?
Kemudian, Gama memasuki bathtub setelah penuh terisi dengan air hangat. Ia perlu berendam, guna merelaksasi pikiran.
-
Lain Gama, lain Bryan.
Lelaki itu sepagi ini sudah terduduk bagai orang frutrasi di bar mininya. Meminum berseloki-seloki minuman beralkohol hingga ambruk berkali-kali—namun, saat sadar, ia kembali mengisi gelasnya. Meneguk semua minuman itu sampai tandas.
Tak perlu berpikir apakah lelaki itu semalam tidur atau tidak. Semuanya tahu pasti apa jawabannya saat melihat kantung wajahnya yang berlipat di sekitaran netra, mata yang memerah, juga wajah yang memucat bak zombie. Lelaki itu tidak tidur, hanya pingsan sebentar-sebentar, kemudian lanjut untuk minum bergelas-gelas.
Tak akan ada yang mengetahui kegilaan pria dua puluh enam tahun itu, sebab sungguh nahas jika melihat kondisi Bryan saat ini.
Brenda mengintip dari balik pintu ruangan Bryan, ia mengernyitkan dahinya tak tega saat melihat Bryan. Tapi kakaknya ini memang butuh diberi pelajaran agar tak terus semena-mena, khususnya kepada Gama.
Brenda tahu betul sifat si sulung sedari kecil. Ia tahu, betapa kakaknya sangat egois dan selalu mudah mendapatkan apa yang dirinya inginkan, karena sang ayah memang lebih condong kepada Bryan. Ia tahu betapa keras kepalanya Bryan ketika menginginkan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomantizmBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...