"Atas nama Bryan Johnson!"
Gamaliel yang baru sampai, dengan tergopoh langsung memberi perintah pada resepsionis rumah sakit untuk mencarikan di mana ruangan Bryan saat ini.
"Pasien baru saja dipindahkan ke ICU," kata seorang suster setelah menemukan data Bryan pada layar komputernya. "Silakan lurus ke sana sampai ujung, lalu belok kanan."
Dan dengan langkah cepat, Gamaliel berlari ke arah yang ditunjukkan, diikuti dengan Valen yang sudah terengah-engah di belakangnya. Gama terlalu panik untuk sekadar memperhatikan sekitar. Karena kalau sudah panik, Gamaliel akan menjadi sangat gesit sekali—apalagi dulunya ia adalah atlet lari di sekolahnya, Valen sampai kewalahan mengejar Gama.
"Gama, pelan-pelan! Bryan nggak bakal lari dari ruangannya," peringat Valen, sekalian minta ditunggu. Ia lelah sekali berusaha menyamai langkah Gama sedari tadi. Gama kecil-kecil begitu, larinya sangat cepat.
Gamaliel masih tak mengindahkan ucapan Valen, ia terus saja berlari ke ruangan Bryan.
Sampai akhirnya mata Gama menangkap postur Brenda yang berdiri menatap—si terduga—Bryan dari kaca luar pintu yang tembus ke dalam ruangan.
Gama sontak memelankan langkahnya, agak mengendap-endap agar tak mengganggu Brenda yang terlihat meratapi kakaknya dari balik kaca.
"Bre—"
"Bryan ...." Brenda berbisik lirih, tak menyadari kedatangan Gamaliel yang telah berada di belakangnya. "Maaf. Tolong bangun, Bry. Aku janji akan menjadi adik yang baik. Aku tak akan berusaha memisahkanmu dengan Gama, aku berjanji aku akan lebih baik lagi untukmu, Bry."
Gamaliel tertegun menatap Brenda yang berbicara pelan dengan sesenggukan, air mata gadis itu mengalir dengan sangat deras membasahi pipinya.
"Aku janji akan jadi adik baik ...."
Dan Gamaliel merasakan ingatannya terlempar kepada masa lalu.
Gamaliel ingat, dulu Jessica sangat dekat dengannya. Jessica yang hangat, Jessica yang manis, adik kecilnya yang selalu mengekori Gama ke mana pun ia pergi.
Suatu ketika Gamaliel kecil tengah mencoba sepeda baru yang dibelikan ibunya, diikuti Jessica yang tengah berlari mengejar Gamaliel yang mengayuh sepedanya patah-patah. Lelaki itu memang belum lancar mengendarai sepeda waktu itu.
"Kakak! Bonceng Jessie! Jessie mau dibonceng Kak Gama!" Itulah kira-kira hal yang Jessica rengekkan pada Gama kala itu.
Akan tetapi, Gama menggeleng. Menolak mentah-mentah rengekan Jessica, karena dirinya tahu kalau bisa saja ia membahayakan Jessica. Jadi, seandainya ia jatuh, ia akan jatuh sendiri tanpa melukai si adik kesayangannya.
"Ayo, Kak! Jessie mau naik sepeda juga!"
"Nggak mau!" ujar Gama sekali lagi.
Namun, tiba-tiba Jessica mempercepat langkahnya. Gadis itu tahu-tahu sudah berada di samping sepeda Gamaliel dan menggoncang-goncangkan setang sepeda Gama secara paksa.
"Mau naik! Mau naik! Jessie mau dibonceng!"
Gama terus menolak sembari berusaha menyeimbangkan setang sepedanya yang masih digoncang Jessica.
Tubuh Gama bergetar, ia juga takut jatuh. Masalahnya, ia berada di jalan yang berbatu—daerah rumahnya dulu memang belum diaspal, masih tanah dengan bebatuan yang besar-besar.
"Jessie, jangan gitu!" pekik Gama panik.
Dirinya sudah mulai tak bisa mengontrol keseimbangan, pun posisi jemari Jessica yang berada di dekat rem membuat Gamaliel tak bisa menghentikan laju sepedanya. Mau mengerem pakai kaki pun, sepedanya sedikit lebih tinggi sehingga ia tak akan sampai kalau menurunkan kaki dengan posisi dirinya yang masih duduk di sadel sepedanya.
"Mau dibonceng dulu!"
"J-Jessie! Iya, sini aku bon—AAH!"
Dan akhirnya Gamaliel terjatuh dengan kepala yang terkena batu.
"Kakak!" Jessica kecil berseru panik seraya menghampiri Gamaliel yang jatuh dengan posisi telentang. Mata lelaki itu terpejam seiring dengan suara ringisan yang terus keluar.
Ia kesakitan.
Jessica saat itu menangis saat menyadari kepala bagian belakang Gamaliel yang basah bersimbah darah karena batuan tajam tersebut.
Anak itu terus terisak sembari mengelap kucuran darah Gamaliel dengan gaun biru langitnya.
"Kakak, jangan sakit! Jessie nggak mau Kak Gama sakit. Maafin Jessie! Jessie janji bakal jadi adik yang baik, Jessie janji bakal berubah lebih baik buat kakak."
"Jessie bakal jadi adik baik ...."
Kenangan itu lantas kembali terbayang di kepala Gama, mengingatkan lelaki itu bahwa Brenda dan Jessica memiliki hati yang sama. Hati seorang adik yang sama.
Mereka sama-sama menyayangi kakaknya meskipun tak memperlihatkan hal itu secara gamblang.
"Gama?" Valen menepuk bahu Gamaliel pelan, menatap Gamaliel dengan pandangan keheranan. "Kamu kok ngelamun?"
Gamaliel menggeleng. Ia pun langsung mengelus bahu Brenda lembut, berusaha mendapat atensi Brenda akan eksistensinya di sini bersama Valen.
"Brenda ...."
Lalu, Brenda menoleh dengan wajah yang luar biasa kacau. Wajahnya bengkak memerah dengan air mata serta ingus yang tak berhenti mengucur.
"Ada apa dengan Bryan?"
Perempuan itu alih-alih menjawab, ia malah menggeleng dan menarik tubuh Gamaliel untuk mendekap tubuh kecilnya.
"Maaf, maaf, maaf," kata Brenda mengulang-ulang kata itu disertai isakannya yang semakin keras. "Tolong kakakku, Gama. Tolong. Maafkan Bryan, tolong ...."
Gamaliel sungguh tak paham karena memang tak ada yang perlu dimaafkan. Gama sudah memaafkan Bryan jauh sebelum ini, ia hanya sedikit trauma akan bayang-bayang Bryan saja bukannya masih menyimpan marahnya.
"Ada apa dengan Bryan?" tanya Gama lagi seraya mengelus punggung Brenda yang bergetar, tanda gadis ini masih belum berhenti dari tangisan.
"Ini salahku," jujur Brenda. "Aku ... aku membiarkannya terus-terusan, menganggap ini hanya sementara. Kupikir ia akan kembali seperti biasa, tapi tanpa kusadari, Bryan justru terus merusak dirinya."
Merusak diri seperti apa maksudnya? Batin Gamaliel bertanya-tanya.
"Bryan koma. Dirinya overdosis alkohol dan narkoba."
Dan seketika tubuh Gamaliel menegang di dalam dekapan adik dari seseorang yang sedang berjuang hidup di dalam ruangan sana.
Sehancur itukah Bryan?
Tidak, Bryan bukan sekadar hancur. Lelaki itu sudah benar-benar merusak dirinya sendiri, membuat dirinya semakin tersakiti.
•
•
•
•
•Pendek:)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FEELINGS
RomanceBryan Johnson, lelaki berdarah Amerika itu ikut dengan ayahnya ke Indonesia guna melihat anak adopsiannya--katanya--ia bertemu dengan Andreas bersaudara yang ternyata tinggal bersama paman dan ayahnya yang miskin. Pantas saja ayahnya ingin mengadops...