Tiga Belas

4.3K 553 15
                                    

Tok! Tok! Tok!

Pagi-pagi sekali, bahkan saat matahari pun masih bersembunyi, kediaman keluarga Andreas sudah diketuk pelan.

Rumah terlihat sepi, tapi untunglah si anak rajin alias sulung dari Andreas itu sudah bangun. Maka dari itu, anak berumur tiga belas tahun itu lantas membuka pintu dengan perasaan waswas.

Siapa yang tidak waswas kalau pagi-pagi buta seperti ini sudah ada yang bertamu?

Begitu Gama membuka pintu, dahi anak itu langsung berkerut heran melihat siapa yang mengetuk pintu rumahnya.

"Bryan?"

Lelaki berkebangsaan Amerika itu hanya tersenyum tipis, terlihat sedikit dipaksakan. Ya, anak enam belas tahun itu pasti merasa tak enak dengan Gama. Rasa bersalah itu sangatlah menggerogoti relung hatinya.

"H-hai, Gama," sapanya balik sembari menggaruk kepala bagian belakangnya kaku.

"Kamu ngapain di sini? How—eh—wha-what are you doing?"

Wow, tumben sekali Gama bisa mengucapkan satu kalimat begini—walaupun masih terbata-bata—biasanya kan Gamaliel hanya bisa mengucap satu kata bahasa Inggris yang dicampur, namun didominasi bahasa Indonesia.

"Ikuti aku," tegas Bryan sambil menarik telapak tangan Gama, melingkupi tangan si kecil di dalam genggaman tangannya yang jauh lebih besar. Membawa Gama ke luar rumah, berjalan-jalan menuju pantai yang berada di dekat tempat tinggal Andreas bersaudara.

"Mau ke mana?" tanya Gama.

Bryan menatap Gama skeptis. Anak ini sudah bisa membalas perkataannya dengan bahasa Inggris walaupun masih berlumur keraguan dalam mempraktikkan. Tapi, bagaimana bisa?

Tetapi, pada akhirnya si lelaki berkebangsaan asing itu hanya menggeleng, untuk apa dirinya memikirkan hal sepele begitu?

"Aku ... hanya ingin berjalan-jalan denganmu sebelum aku kembali ke Amerika."

Si bocah pribumi itu sontak menundukkan kepalanya. Ia sudah berusaha untuk terlihat baik-baik saja mengenai hal ini. Tapi, nyatanya mendengar kata Amerika sudah membuat hati Gama kembali mencelis.

Dengan susah payah, si pendek menelan salivanya. Entah kenapa, ia ingin membicarakan hal ini saja tenggorokannya berasa tercekat.

"Kamu ... jadi bawa Jessica buat diadopsi di Amerika?" tanyanya seraya menatap sekumpulan pasir putih yang ia tendangi dengan kakinya.

Bryan menunduk pula. Ia takut, sungguh. Ia tak mau dicap sebagai keluarga perampas hidup orang. Ia tak mau dianggap pembunuh, ia tak mau ... dibenci Gama jikalau suatu saat nanti anak itu tahu.

"Bryan?" panggil Gama pada Bryan. Ia menunggu jawabannya dan Bryan justru terdiam dengan seribu satu pikiran yang berkecamuk di kepalanya.

"Y-ya ... kami akan mengangkat Jessica sebagai ... keluarga."

Gamaliel menoleh, menatap muka Bryan yang kikuk ditatapi sedemikian rupa. Maksudnya, kenapa Gama menoleh dengan senyuman manis dan tatapan penuh artinya? Bahkan Bryan tak berani menerka-nerka apa yang sedang Gama pikirkan dengan ekspresi begitu.

"Aku titip Jessie, ya? Aku sangat menyayanginya. Dia adikku satu-satunya, perempuan satu-satunya juga di keluargaku. Bisakah kamu menjaganya, Bryan?"

Lelaki bongsor itu terdiam. Bukannya tidak mengerti dengan grammatical error yang Gama tak sengaja ucapkan—ketahuilah bahkan Gama baru belajar, salah sedikit-sedikit pun tak apa—hanya saja Bryan bingung hendak menjawab bagaimana.

THE FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang