14| Dia Peduli

27 3 0
                                    

14| Dia Peduli

Erlan kini sedang berdiri di depan pintu rumah Fely. Tadi saat bel tanda pulang berbunyi, ia langsung bergegas pergi tanpa menghiraukan tatapan tajam Key atau pun Danill yang memanggil-manggil namanya.

Erlan bingung dengan dirinya sendiri, mengapa dia mau menjenguk Fely? Bukannya dia sendiri yang meminta Fely untuk menjauhinya? Apa Erlan merasa bersalah karena berlaku kasar dan menyakiti Fely? Erlan merasa kasihan? Atau Erlan khawatir?

Erlan tersentak dari lamunannya saat memikirkan hal itu. Tak mungkin ia khawatir, ia hanya merasa bersalah. Erlan yakin akan itu.

Erlan ingin pulang saja sebenarnya, dan sialnya kenapa Erlan merasa gugup sekarang. Erlan ingin berbalik, mengendarai motor ke rumahnya, lalu membersihkan diri dan segera tidur. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, Erlan sudah disini. Tepat di depan pintu rumah Fely.

Erlan menatap pintu yang menjulang di depannya. “Sial! Kenapa gue gugup gini sih.” Erlan merutuki dirinya sendiri.

“Mau jenguk orang sakit aja udah kayak mau nembak cewek.” Erlan terus bermonolog.

Kini Erlan malah mondar-mandir, ia terlihat sedang berpikir keras, entah apa itu. “Oh ayo lah, Erlan. Tinggal ketuk pintu, ada yang bukain, temuin si Fely, minta maaf sama dia, pulang deh. Iya, udah gitu aja.”

Erlan mengakhiri acara mondar-mandirnya. Ia juga berhenti bermonolog, karena tak mau seperti orang gila. Kini ia sudah berdiri tegak lagi di depan pintu rumah Fely. Ia perlahan mengarahkan tanganannya ke daun pintu untuk mengetuk pintu.

Tok ... Tok ... Tok ....

Erlan semakin gugup, tangannya sedikit berkeringat. Saat tidak ada jawaban dari dalam, Erlan mengetuk pintunya sekali lagi.

Tok ... Tok ... Tok ....

“Permisi” Erlan pikir mungkin suara ketukannya tidak terdengar ke dalam. Mau bagaimana lagi, saat ia mencari bel rumah, benda itu tidak ada.

“Iya, sebentar!”

Erlan tersentak ketika mendengar suara dari dalam. Juga derap langkah yang menuju ke arah pintu. Matanya mengamati knop pintu yang diputar dari dalam lalu perlahan terbuka.

“H-hai!”

***

“Danilll!”

Pergerakan Danill yang sedang nemakai helmnya pun terhenti kala mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Key yang sedang berjalan menghampirinya. Danil yakin yang memanggilnya tadi adalah Key. Siapa lagi? Suasana di tempat parkir sangat sepi saat ini, hanya tersisa dua sepeda motor di samping motor Danill.

“Ada apa, Key? Tumben lo manggil-manggil gue.” Danill masih berada di atas motornya. Ia menatap Key yang sudah berdiri di depannya.

Key menarik pegangan tasnya. “Teman lo, si Erlan, mau ke mana dia tadi? Kok buru-buru banget kelihatannya?”

Danill mengerutkan dahinya. “Kenapa lo tanya-tanya Erlan? Suka?”

Key membulatkan matanya. “Ogah! Masa iya gue suka sama Erlan.” Key menampilkan ekspresi jijiknya.

Danill tertawa kecil melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Key, dalam hati ia berpikir, kenapa Key lucu sekali. Key terlihat menggemaskan.

“Ih, Danill, kok lo malah ketawa, sih. Gue serius, ya. Erlan pergi ke mana, gue takut di apa-apain Fely.” Key yang kesal pun memukul kepala Danill dengan geram. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan mencebikkan bibirnya.

FE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang