24| Marah

25 3 0
                                    

24| Marah


Kini Fely dan Jovan tengah berada di rumah Fely, tepatnya di ruang tamu. Fely tengah asik membersihkan luka yang ada pada Jovan.

Jovan meringis saat Fely sedang membersihkan luka akibat pukulan dari Erlan tadi.

"Sakit, ya?" Jovan menatap Fely dengan tatapan datar, sedangkan Fely terkekeh pelan melihatnya.

"Nggak ada yang lucu, Fel," sindir Jovan berpura-pura marah. Sejujurnya Jovan tidak akan bisa marah kepada Fely.

"Emang kamu bisa marah sama aku? Cih, omong kosong." Fely kembali terkekeh.

"Bodo." Jovan memalingkan wajahnya ke arah samping supaya ia tidak melihat wajah sumringah Fely.

Fely sudah selesai mengobati Jovan. Saat Fely ingin mengembalikan kotak P3K miliknya tiba-tiba tangannya ditarik oleh Jovan. "Nanti aja. Duduk dulu," seru Jovan dengan menepuk sofa yang ada disampingnya.

"Kenapa?" Fely memandangi wajah Jovan intens. Hidung yang mancung membuatnya salah fokus. "Hidung kamu mancung banget deh." Tanpa rasa bersalah Fely menekan hidung Jovan tepat luka yang ia obati.

Tangan Jovan menepis tangan Fely kasar. "Sakit, Setan." Fely yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. "Lo sengaja kan," duga Jovan sambil mengelus hidungnya.

"Dih, SOK TEMPE," ujar Fely tepat di telinga Jovan, lalu pergi membawa kotak P3K yang tadi belum sempat ia kembalikan.

"Astagfirullah, bau banget," sindir Jovan. Bukannya ia menutup hidung dan mulutnya, dia malah menutup matanya.

Dengan sigap Fely mengambil bantal yang ada di sofa lalu melemparkannya ke wajah Jovan. "Itu mata dugong, mata mana bisa buat cium bau."

"Bagi Tuhan nggak ada yang nggak mungkin," ucap Jovan dengan tangannya di depan dada. "Sok kamu, ngaji aja masih bentar-bentar.

Jovan menatap Fely datar. "Bikini gue seneng dikit kenapa." Tawa Fely pecah mendengar kalimat Jovan barusan. "Bikin kali bukan bikini."

Bibir Jovan ikut tersenyum sumringah. Sudah lama ia tidak melihat tawa sahabatnya.

Dengan penuh curiga Fely menanyakan hal ini. "Kenapa kamu ngelihat aku kayak gitu? Naksir ya? Aku tahu aku cantik, makannya banyak yang naksir," ucap Fely, tak lupa tangannya yang mengibaskan rambutnya.

"Alah, pede lo terlalu tinggi." Jovan kembali melemparkan bantalnya ke wajah Fely.

"Udah, ah. Gue mau tanya nih," ucap Jovan dengan melasnya. Lalu Fely dengan penuh kekepoan memandangi wajah Jovan. "Why?"

"Lo di sini baik-baik aja, kan? Nggak ada yang nyakitin lo, kan?" Fely tersenyum. Ia sangat bersyukur bisa bersahabat dengan Jovan, ya walaupun sering bikin ulah tapi ia tetap sahabatnya. "Nggak lah. Kamu tenang aja, di sini aku baik-baik aja. Kamu tahu itu."

"Tapi gue nggak yakin, Fely." Ia menjadi kalimatnya membuat Fely berfikir sejenak. "Maksud kamu?"

"To the point aja. Lo ikut sama gue ya, keluarga gue yang minta. Mereka kangen sama Lo." Dengan muka melasnya Jovan berucap.

Fely menggeleng kecil. "Nggak bisa, Jo. Aku udah nyaman di sini," jelas Fely. Jovan tahu tidak seharusnya ia berkata seperti ini.

"Gue minta maaf kalau omongan gue lancang." Fely kembali menggelengkan kepalanya. "Sama sekali nggak. Aku justru senang karena ada orang yang masih perhatian sama aku. Salah satunya kamu."

Keduanya saling terhenyuh dalam suasana, hingga mereka disadarkan dengan deringan ponsel Jovan.

"Iya, Don?"

FE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang