10| Mengakui

36 3 0
                                    

10| Mengakui

Sudah menjadi langganan anak laki-laki, sebelum masuk mereka selalu nongkrong di warung belakang sekolah. Di sana mereka hanya sekedar merokok atau main kartu. Aneh memang, tapi itu yang memang sudah menjadi rutinitas para murid yang cukup bandel.

"Dan, menurut lo, Fely gimana?" tanya Erlan tiba-tiba.

Ya, saat ini Erlan dan teman satu gengnya juga sedang berada di warung itu. Mereka hanya sekedar menenangkan pikiran sebelum kembali pusing dengan hapalan.

"Fely yang duduknya di depan kita?" tanya Danill yang dibalas anggukan oleh Erlan. "Emang kenapa sama Fely? Kok lo nanya gitu?"

"Nggak, gue cuma aneh aja gitu," balas Erlan.

Danil mengerutkan keningnya mendengar jawaban tak jelas Erlan. "Aneh gimana maksud lo?"

"Ya itu, kita nggak pernah deket, tapi beberapa hari ke belakang, kita bersikap seolah kita adalah teman. Padahal gue kenal dia aja waktu pembagian kelas," balas Erlan dengan membayangkan beberapa keanehan dari sikap Fely.

"Mulai dari pulang bareng, satu kelompok, bawain bekal. Aneh banget, kan," lanjut Erlan yang masih membayangkan kilasan adegan itu.

"Dia suka lo, maybe," balas Danil acuh tak acuh.

"Bener juga sih, secara nggak akan ada yang berhasil menghindar dari pesona seorang Erlan," ucap Erlan dengan percaya dirinya. Bahkan lelaki itu sempat merapikan rambutnya. Seolah sedang berada di salon.

"Cih, baru segitu udah sombong." Danil berdecih melihat tingkah lebay sahabatnya.

"Bukan sombong, tapi pamer," balas Erlan santai yang berhasil membuatnya menjadi samsak dadakan bagi para temannya yang kesal dengan jawaban Erlan.

"Sama aja bego." Danil melempar kulit kacang ke arah Erlan. Dan Erlan terbahak dengan puas.

Walau terlihat tertawa, sebenarnya hati Erlan masih bimbang. "Gue nanti nanyanya gimana, ya? Kalau dia ngaku suka sama gue, gue harus gimana, ya? Ngasih respon baik atau buruk?" pikir Erlan.

Entah mengapa untuk kali ini, dia tidak ada niatan mempermainkan Fely. Biasanya saat ada perempuan yang mendekatinya terang-terangan dia santai saja mengikuti alur yang perempuan itu buat. Setelah bosan, dia tinggal menjauh dan menyuruh perempuan itu pergi.

Namun kali ini berbeda. Erlan tak ada pikiran untuk mempermainkan Fely. Dia tidak tertarik membuat perempuan itu sakit hati. Selama dia membantu Fely pun itu murni dari hatinya, bukan untuk tebar pesona semata.

Kringg ... kringg ....

"Udah bel, Lan. Ayo ke kelas jangan ketawa mulu kayak orang gila," ucap Danil saat mendengar bel masuk berbunyi. Tangannya terulur menarik kerah baju Erlan bagian belakang. Seperti menarik seokor kucing.

"Bego, lepas." Erlan menghempaskan tangan Danil. "Gue bukan kucing," ucapnya kemudian yang memrapi kan lagi bajunya.

"Hahaha ... iya-iya, lo bukan kucing, tapi buaya," balas Danil yang membuat Erlan kembali mengumpat.

"Sialan lo, Kudanil," balas Erlan dengan menatap tajam sahabatnya.

Dia paling kesal jika disebut buaya. Karena sebenarnya dia tak sebuas itu. Selain itu, di balik semua sikap mempermainkannya itu, dia mempunya alasa yang tak orang lain ketahui. Sehingga dia paling tidak suka disamakan dengan hewan satu itu.

"Hahaha ... jangan melotot kayak gitu, gue nggak akan takut kayak Cabe-cabean lo." Danil masih tertawa meledek Erlan.

Meliht Erlan akan mengeluarkan jurus bela dirinya, Danil segera berlari menghindar.

FE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang