21| Masa Lalu Fely

24 3 0
                                    

21| Masa Lalu Fely


Setelah acara makan bersama, yang bisa lebih dikatakan first date, Erlan tidak langsung pulang terlebih dahulu karena ia masih ingin bersama Fely.

Kini mereka berkumpul di ruang televisi untuk menikmati acara sore itu. Tapi dengan tidak enak hati Erlan bertanya tentang itu.

"Fel," panggil Erlan. Fely memalingkan wajahnya kearah Erlan yang semula fokus dengan televisi.

"Kenapa?"

"Di rumah cuma ada kamu sama Bi Ina?" tanya Erlan kepada Fely. Memang Erlan sudah kenal bahkan akrab dengan Bi Ina.

"Nggak usah bahas itu," ucap Fely menahan sakit di dada. Masa lalunya yang sudah ia tutup rapat-rapat, harus teringat karena ucapan Erlan.

"Iya udah deh. Aku ngalah," ucap Erlan, lalu mengacak-acak rambut Fely gemas. Tapi bagaimana pun ia masih tetap kepo.

"Kenapa gue jadi kepo gini sih sama urusannya Fely?" tanya Erlan dalam hati.

Hati dan pikiran Erlan bertolak belakang, hati tetap ingin tahu apa masa lalu Fely sedangkan kalau pikiran ia tidak ingin tahu tentang hal itu.

Fely menatap wajah Erlan dengan intens. Apa iya dia akan menceritakannya sekarang kepada Erlan, kekasihnya.

"Kalau aku ceritain masa lalu aku, kamu mau cerita masa lalu kamu ke aku?" Kalimat yang diucapkan Fely membuat Erlan menatap kearahnya.

Apa mungkin keputusannya sudah pas atau bahkan tidak sama sekali. "Oke," ucap Erlan tegas.

Entah kenapa jiwa laki-lakinya keluar saat bersama Fely. Rasa ingin melindunginya tiba-tiba muncul.

"Kenapa gue ngerasa gue harus ngelindungin Fely ya," batin Erlan bingung. Benarkah kalimat itu dari hati ataukah hanya pikirin saja.

"Aku nggak yakin," ucap Fely dengan bersedekap dada. Hal ini ia lakukan untuk melihat raut wajah Erlan yang begitu menggemaskan.

Satu detik sudah berlalu, dan benar saja raut wajah Erlan menjadi sangat menggemaskan saat permainannya tidak Fely turuti. "Kok gitu sih." Bibir Erlan manyun seperti anak kecil yang marah karena tidak dibelikan ice creem.

"Kamu kayak anak kecil. Aku nggak suka." Fely berbicara seperti itu hanya ingin tahu apa jawaban Erlan. Hingga jawaban yang keluar dari mulut Erlan membuatnya malu.

"Benar nggak suka? Terus siapa yang sering kode aku pake pulang bareng sama bawain bekal. Hayo siapa coba?" Wajah Fely memerah karena malu. Kenapa juga ia harus mengucapkan kata itu, batin Fely malu setengah mati.

"Siapa, ya? Mungkin pengangum rahasia."

Erlan tidak menanggapi jawaban dari Fely. Intinya sekarang, ia ingin mendengar cerita masa lalu Fely.

"Katanya mau cerita?" tanya Erla

Hal itu membuat Fely bergumam, "aku kira udah lupa." Ternyata apa yang Fely gumamkan terdengar di telinga Erlan.

"Ceritanya mau ngalihin pembicaraan?" tanya Erlan dengan menaik-turunkan alisnya.

"Dih, siapa ya? Saya nggak kenal kamu." Fely berpura-pura tidak mengenal Erlan. Fely lalu memakan cemilan yang disiapkan Bi Ina, mengacuhkan segala rengekan Erlan.

"Queen."

"Sayang."

"Beb."

"Dear."

"Jijik tau nggak, euww," ucap Fely dengan rasa ingin muntah.

"Jahat banget sama aku."

"Bodo." Fely menjawabnya dengan menahan tawa. Tidak tega dengan semua itu, Fely mau menceritakan masa lalunya kepada Erlan. Prinsip Fely, dalam suatu hubungan jangan ada sesuatu yang di sembunyikan.

"Ya udah aku ceritain masa lalu aku ke kamu," lanjut Fely membuat senyum Erlan mengembang.

"Dulu saat Ayah dan Bunda meninggal--" Baru awal saja ucapan Fely harus terpotong gara-gara Erlan, gimana kalau nanti sampai akhir. Mungkin sudah beberapa kali memotong omongan Fely.

"Kok bisa? Karena? Terus gimana? Kamu sama siapa dong?"

"Erlan. Kalau nanya satu-satu dong, udah kayak pembalap aja." Fely melirik Erlan dengan tatapan tajam.

"Untung sayang," gumam Fely dengan mengelus dada.

"Iya maaf. Lanjut kalau gitu," seru Erlan.

"Ayah sama Ibu meninggal gara-gara kecelakaan beruntun saat pulang dari Singapura. Saat mendengar kabar itu, aku bersama pembantu di rumah aku yang lama ke rumah sakit. Saat itu aku baru berumur 12 tahun," jeda Fely.

Air matanya mulai jatuh satu persatu, Erlan tahu bagaimana rasanya ditinggal orang tua pergi. Tapi untungnya pergi sebentar bukan selamanya.

"Satu tahun setelah kepergian Ayah sama Bunda aku diasuh sama pembantuku yang lama, bukan Bi Ina. Dua tahun berikutnya ada fakta mengejutkan dari pembantuku, awalnya aku tidak percaya tapi akhirnya apa yang aku dengar dari pembicaraan dengan orang luar itu aku percaya." Tangis Fely menjadi-jadi, ia tidak tahan ingin melanjutkan ceritanya.

Erlan yang mengerti, lalu mendekap Fely kedekapannya. "Jangan dilanjutin, aku nggak suka liat kamu nangis kayak gini." Fely menggeleng.

Setelah dirasa ia mulai tenang ia melanjutkan ceritanya. "Ternyata selama itu Bi Ijah-- pembantu aku sama suaminya hanya memanfaatkan pekerjaan itu untuk menguasai segala harta yang orangtuaku. Dan selama itu juga, aku selalu disiksa, dikekang, disuruh ini-itu, bersihin rumah jadi tugas aku. Seakan-akan aku pembantu di rumahku sendiri. Sakit? Sudah pasti."

"Satu bulan aku betah-betahin di rumah. Saat malam harinya, aku kabur dari rumah. Saat di jalan aku bertemu dengan seseorang yang sangat berarti buat aku. Bahkan, mau nolongin aku yang notabenenya orang asing dalam kehidupannya. Dia baik sama aku, dia ngajak aku jadi sahabatnya sampai saat ini pun masih sahabatan," jelas Fely akhir dengan senyum mengembang.

Erlan kembali memeluk Fely. Seseorang yang selama ini tersenyum, ternyata kehidupannya tidak seindah apa yang ia tampilkan dari luar. Artinya, ia sudah tertipu dengan hak itu.

"Maafin aku. Aku nggak tahu kalau kamu yang biasanya ceria punya masalah serumit itu." Erlan dengan menunduk.

Kedua tangan Fely menangkup wajah Erlan. "Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah, jalan hidup kan memang seperti ini. Kadang di atas dan kadang di bawah. Dan aku sudah merasakannya."

Erlan tersenyum manis, dia begitu bangga dengan pacarnya ini. Gadisnya bisa berpikir sebijak itu. "Aku nggak nyangka bisa memiliki gadis sebijak kamu," ucapnya yang membuat Fely tersenyum malu. "Ah, udah sore aja. Aku pulang, ya." Erlan melirik jam tangannya.

"Eh, tapi kamu kan belum nyeritain masa lalu kamu." Fely memberenggut.

Erlan mengusap pucuk kepala Fely, kemudian tersenyum, "Besok, aku janji akan ceritain masa lalu aku sama kamu."

Akhirnya Fely pun luluh. "Tapi janji loh, ya?"

"Iya-iya, aku janji." Erlan kembali mengacak rambut sang kekasih.

Fely memanyunkan bibirnya. "Berantakan lagi kan."

"Tetap cantik kok."

"Terserah." Fely memalingkan wajahnya dari tatapan Erlan.

"Marah, ih."

"Bodo."

"Aku pulang dulu. Kalau ada apa-apa jangan lupa kasih kabar ke aku."

"Ya."

"Sampai jumpa, Queen." Terakhir, Erlan mencubit pipi Fely keras hingga sang empu meringis kesakitan.

"ERLAN GILA!"




***

Written by :
- Reka
- Dika
- Nindita

Teenfiction Kelompok 2

FE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang