17| Khawatir?

35 4 0
                                    

17| Khawatir


Bel tanda masuk sudah berbunyi. Semua murid bergegas memasuki ruang kelas untuk mengikuti jam pelajaran yang tersisa. Tak terkecuali Key dan Fely yang sudah duduk manis di tempat duduknya. Tak selang beberapa waktu, Bu Dewi masuk ke ruang kelas. Fely mengeluarkan buku dari tas nya dan bersiap menyimak apa yang akan dikatakan oleh Bu Dewi.

“Oke anak-anak, hari ini kalian coba kerjakan LKS hal dua puluh lima, ya. Kemarin materi Bab ini sudah selesai saya jelaskan, kan?” Ujar Bu Dewi sesudah menyapa seisi kelas.

“Iya, Bu,” jawab murid-murid serempak.

“Ya sudah, kerjakan! Jangan berisik, saya mau menemui Bapak Kepala Sekolah dulu.” Setelah mendapatkan jawaban dari para murid, Bu Dewi pun berlalu meninggalkan kelas menuju Ruang Kepala Sekolah.

Setelah kepergian Bu Dewi, suasana kelas menjadi sedikit ramai. Menurut mereka, keributan, keramaian, keberisikan, kegaduhan, dan semua hal yang mengganggu ketentraman yang mereka lakukan saat ini itu masih di bawah standar keramaian. Standarnya saja sudah bisa membuat orang yang sedang  sakit gigi mengamuk, apalagi yang di atas standar? Oke, tidak usah dipikirkan.

“Key, kamu ngerjain?” tanya Fely ketika di lihat Key sedang menuliskan sesuatu di buku LKS sekarang. Key terlihat sangat teliti dan serius.

“Lah, lo tadi nggak dengar Bu Dewi suruh apa? Ngerjain kan? Masa iya disuruh ngerjain gue malah ngerangkum.” Key membalas dengan mata terus terarah ke LKS-nya.

“Dengar, tapi ....”

“Apa? Malas?” Fely nyengir membuat Key mendengus sebal.

“Kamu ngerjain, aku bantu kipasin dari sini biar kamu nggak keringetan. Terus nanti kalau udah selesai kasih aku ya LKS-nya. Aku mau salin, hehe.” Fely berucap dengan lancarnya.

Key melirik sinis mendengarnya. “Itu sih enak di lo, dodol. Udah kayak majikan aja, maunya terima beres.”

Fely tidak tahu apa? Menjawab soal itu Key tidak asal tulis, semua membutuhkan pengorbanan. Entah itu pikiran, karena harus mikir jawaban yang benar. Waktu, buat menulis jawaban. Tenaga, karena harus melihat dia sama yang lain.

“Ish, Key kan baik. Kamu kayak nggak tahu aja sih, kayak nggak biasanya.” Fely sebenarnya bisa, Cuma dia sedang malas saja. Jadi harap maklum.

“Ck, terserah” Key pun fokus mengerjakan kembali. Sementara Fely bersorak kecil, lalu memainkan ponselnya. Fely membuka ruang chat dan akun media-sosialnya. Oke, lama-lama Fely bosan. Tidak ada yang menarik lagi di ponselnya. Untuk mengusir kejenuhan yang semakin menjadi-jadi, Fely pun mengamati seisi kelas. Banyak yang sedang mengobrol, bergosip, nonton bersama melalui laptop, ada juga yang sedang mengerjakan tugas. Seperti Key misalnya.

Saat padangan matanya jatuh ke kursi di belakangnya, ia tersentak. Bagaimana bisa Fely tidak menyadari hal itu, kenapa Fely tidak peka terhadap sekitar? Fely mencoba memastikan ke seluruh penjuru ruangan. Tapi yang dia harapkan tidak ada.

“Astaga, Keyyy!” Fely berucap dengan hebob sambil menggoyang-goyang kan tubuh Key. Key yang merasa terganggu pun berdecak kesal dan menghentikan kegiatan menulis nya.

“Apa sih Fely, astaga. Ganggu aja lo, ini gimana gue mau selesai ngerjainnya.” Key yang kesal membanting alat tulisnya ke meja dan melipat tangannya di depan dada.

Fely merengut mendengarnya. “Ya maaf, ini tuh penting tahu. Menyangkut masa depan, mana bisa aku diam aja.”

“Lebay lo.” Key mendorong dahi Fely ke belakang, “Apa sih emangnya?”

FE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang