19. Tangis Sang Bunda

119K 4.4K 257
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Satu jam ...

Satu jam Ella setia memandangi wajah kecil sang buah hati. Bulu mata lentik yang melingkari mata indah bergerak-gerak mencuri pandang ke arahnya. Begitupun dengan bibir merah mungil yang sedari tadi mencoba memuntahkan beberapa obat bubuk yang berada di dalam rongga mulut, membuat senyum Ella memudar.

"Telan, Sayang." Ella mengusap sudut bibir Vero dengan ibu jari.

Vero mengangkat kepala dengan tatapan nanar, "Vello nggak mau minum ini lagi. Lasanya (Rasanya) pahit sekali, Bunda."

Ella memaksa diri untuk tersenyum, "Obat ini bisa membuat Vero kuat. Vero mau sembuh kan?"

Vero menundukkan kepala dalam-dalam. Dipandanginya obat-obatan yang rasanya terlalu pahit dan menyakitkan untuk anak seusianya itu dengan sedih.

"Vello mau sembuh, Bunda ..." Vero berkata lirih.

"Kalau begitu mimum obatnya, Sayang." Ella menyamarkan kesedihannya dengan mencubit pipi Vero. Melihat betapa patuh dan polosnya sang putra kepadanya.

Setelah tak ada lagi obat yang tersisa, Ella mengambil gelas dari tangan Vero, lalu memintanya untuk segera tidur.

"Sekarang waktunya tidur." Ella menaikkan selimut tidur untuk Vero hingga sebatas dada, lalu mencium keningnya sambil mengucapkan selamat malam kepadanya.

Saat Ella berniat untuk beranjak dari atas tempat tidur, niatnya terhalang oleh genggaman kuat Vero di tangannya.

"Vello mau tidul (tidur) sama Bunda, boleh?"

Ella membelai rambut Vero. Merasakan tubuh putra kesayangannya gemetar. Apa itu pengaruh obat yang baru saja Vero makan?

"Selama Vero bahagia, kenapa tidak?" Ella membawa punggung tangan Vero ke bibir, lalu menciumnya dengan penuh kasih, termasuk mengusap lembut jari jemari kecil Vero yang basah akan keringat.

Ella kemudian naik ke atas tempat tidur, lalu berbaring dengan posisi berhadapan langsung dengan Vero.

"Bunda?"

"Hm?"

"Apa meninggal itu sakit, Bunda?" Vero menyentuh pipi Ella, lalu bertanya polos kepadanya.

"Ke-napa kamu bertanya seperti itu, Sayang?" Ella merasakan hantaman keras di dada begitu pertanyaan itu keluar dari mulut Vero.

"Eyang bilang, Vello sebental (sebentar) lagi akan meninggal." Lagi-lagi hanya kepolosan yang muncul di mata Vero. Tidak ada rasa takut atau sedih selain kepolosan di mata sang putra.

Eyang? Apa Nyonya Winda mengatakan hal itu pada Vero? Tidak cukup dengan menghinanya, wanita itu juga tega menyakiti hati putranya!

"Jauhi Abraham! Aku tidak ingin putraku menikah dengan seorang wanita yang tidak jelas asal-usulnya sepertimu! Apalagi seorang wanita yang memiliki anak cacat seperti itu! Memalukan!"

Vero tidak cacat! Vero spesial!
Pecahlah air mata Ella. Ella meraih punggung Vero, lalu membawa tubuh rapuhnya ke dalam dada, "Vero akan sembuh!"

isaknya mengisi ruang hati Ella, "Tidak ada yang bisa mengambil Vero dari Bunda! Tidak ada!"

Ella Menghapus jarak keduanya menjadi satu keutuhan penuh.

"Vero hanya milik Bunda!" Ella membelai puncak kepala Vero dengan jari jemarinya yang bergetar.

"Bun-da?" Vero memegang lengan Ella, dan ikut merasakan ketakutan yang dialami oleh Ella saat ini, "Jangan menangis, Bunda ..."

Ella tidak bisa berhenti untuk menangis. Matanya terpejam mengingat vonis dokter tentang kondisi Vero.

"Putra anda mengalami banyak keterlambatan, Nona."

"Ma ... maksud dokter apa?"

"Mayoritas balita bisa mengerti beberapa kata pada saat usianya 18 bulan. Lalu ketika mencapai 3 tahun, kebanyakan anak-anak dapat berbicara dengan kalimat-kalimat singkat. Tapi saya tidak melihat perkembangan itu ada pada diri Vero."

Dokter Fredi kembali melanjutkan penjelasannya ketika Ella diam mengatur nafas, "Gangguan bahasa terjadi ketika anak mengalami kesulitan memahami apa yang orang lain katakan, dan tidak bisa mengungkapkan isi pikiran mereka. Keterlambatan perkembangan bisa disebabkan oleh berbagai faktor, dan saya melihat keterlambatan Vero terjadi karena masalah yang dihadapi oleh Nona selama periode kehamilan."

"Ta ... tapi Vero bisa sembuh kan?"

"Diagnosa saya belum selesai Nona."

"Di-diagnosa?"

"Faktor keterlambatan itu merambah cepat pada kondisi fisik Vero yang lain."

"Putraku baik-baik saja!" Ella memotong ucapan Fredi.

"Putra anda lahir dalam kondisi prematur. Walau secara fisik normal, tetapi ada sebagian organ inti pada tubuhnya yang tidak berfungsi dengan baik."

"Apa maksud dokter?!"

"Saya minta maaf karena harus mengatakan hal ini," dokter Fredi menundukkan kepala, "Putra anda mengidap kelainan jantung."

"Kelainan jantung di usianya yang masih terbilang begitu muda bisa mengancam nyawanya. Obat yang saya berikan hanya berfungsi untuk mengurangi rasa sakit di jantungnya. Sekali lagi saya hanya bisa mengatakan bahwa transplantasi jantung adalah satu-satunya cara untuk bisa menyembuhkannya."

"Transplantasi jantung?"

Fredi menatap iba pada Ella, "Tapi transplantasi untuk anak seusia Vero sangat berbahaya dilakukan. Hanya lima persen tingkat keberhasilan yang bisa kami janjikan, dan sembilan puluh lima persen lainnya adalah sebaliknya, gagal dan sekali lagi nyawa sebagai taruhannya. Dan saya minta maaf harus mengatakan ini. Usia Vero tidak akan panjang seperti anak normal pada umumnya."

"Bunda ...?" genggaman tangan Vero membuat Ella menyadari satu hal.
Ella tidak bisa menahan lebih lama gejolak pada batin yang mengancam untuk segera tumpah.

Ella bangun dan turun dari atas tidur, lalu berlari meninggalkan Vero sendirian.

"Bunda?!"

Ella berlari dan terus melangkah pergi meninggalkan apartemen menuju rooftop, tempat persembunyiannya selama ini jika Ella ingin menangis.

Satu persatu anak tangga dilewati oleh Ella hingga semilir angin dingin menembus kulit pucatnya yang dilumuri air mata.

"HIKS!" Ella menjatuhkan dirinya di lantai. Ella menangis sekencang-kencangnya dan membiarkan luka di hatinya kembali terbuka.

Satu hal yang Ella sadari saat ini adalah ... Ella tidak ingin kehilangan Vero.

"Hiks! Tidak ada yang boleh mengambil Vero-ku! Tidak ada!" Teriaknya di antara tangis pilunya yang terdengar menyedihkan.

"HIKS!!" Ella menangis tersedu-sedu. Tubuhnya gemetar tanpa kendali.

Tidak cukupkah Tuhan hanya memberikan cobaan kepadanya? Kenapa Vero juga harus mendapatkan penderitaan seperti dirinya?! Kenapa?!

"Hiks ...." Ella menangis di tengah gelap dan dinginnya malam yang diselimuti awan mendung. Ella tidak menyadari kehadiran sesosok tubuh tinggi asing di belakang yang tengah memandang.

"Ella?"


Cerita ini udah ada versi pdf di platform KARYAKARSA ya

Cinta Sang Majikan (21+) / END | RepostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang