"Bu. Saya akan bertanya sekali lagi" laki-laki itu menghembuskan nafas samar."ibu benar yakin mau mendonorkan hati ibu buat putri saya?"
Perempuan paruh baya itu tersenyum. Lantas memandang wajah lelaki bernama Hardi tersebut.
"Saya benar-benar yakin pak. Saya sudah frustasi hidup."
Lelaki itu kembali menghela nafas. Sepertinya perempuan yang ia hadapi ini memang sudah pasrah. Ia menemukan orang ini beberapa hari lalu, ketika dirinya masih berada di Bandung. Tepat saat Yudha menelponnya bahwa anaknya membutuhkan pendonor.
Perempuan itu lantas menghampirinya. Mengajukan diri untuk mendonorkan hatinya. Perempuan itu memang terlihat lusuh. Terlihat begitu depresi. Bahkan lingkarang hitam di sekitar matanya terlihat begitu jelas.
"Bu. Saya akan bertanya kembali. Apa ibu mau mendonorkan hati ibu? Memang hanya mencangkok kan saja. Namun bisa saja akan berdampak pada sistem imun ibu sendiri." lelaki itu kembali mendengus."kalau ibu tak benar-benar yakin, saya akan kembali mencari pendonor."
Perempuan itu kembali tersenyum. Beberapa saat kemudian air mata itu akhirnya lolos dari kantung matanya.
"Pak. Saya sudah begitu frustasi. Saya ini orang tak berguna lagi. Sejak suami saya pergi dan anak-anak saya meninggal. Saya sudah tak mampu lagi melanjutkan hidup. Saya menjadi gembel di jalanan. Banyak orang yang membenci saya. Saya ingin segera menemui illahi."Perempuan itu terisak. Hardi bahkan tampak terkejut saat orang itu mengatakan hal yang selama ini ia rasa. Pasalnya saja, sejak pengajuan diri itu. Hardi lantas membawanya kemari. Sepanjang perjalanan perempuan ini hanya terdiam. Seolah ia tengah menahan sesuatu.
Namun, entah apa itu.
"Saya ingin. Hidup saya berakhir dengan sebuah kebaikan. Saya bersedia pak. Benar-benar bersedia mendonorkan hati saya pada putri bapak. Saya rela mendonorkan semua." imbuhnya di sela-sela isak tangisnya.
Lelaki itu tampak memandang dengan tatapan iba, perempuan paruh baya di depannya. Memang ucapannya terkesan menyentuh. Hidupnya hancur. Sungguh malang. Hingga ia dengan sukarela menyerahkan organ penting tubuhnya demi kepentingan orang lain.
Hardi mengganguk mantap." baiklah. Saya akan menerimanya." lelaki itu tersenyum samar."Terimakasih!"
***
Pagi ini, sekolah mengadakan doa bersama untuk kesembuhan Sei. Sungguh pihak sekolah merasa sedikit tak enak kepada keluarga anak itu. Sejauh ini belum ada pihak dari sekolah yang mengunjunginya karena sibuknya mereka.
Mereka berkumpul. Beramai-ramai di lapangan upacara untuk saling berucap doa agar anak itu segera pulih. Apalagi beredarnya kabar bahwa Sei akan segera menjalani oprasi hatinya. Membuat mereka semakin khusyuk berdoa agar pengobatan itu lancar.
Yerin mendengus pelan. Sepanjang perjalanannya menuju kelas, tak jarang beberapa siswa menghampirinya. Menitipkan salam mereka pada Sei, serta doa agar anak itu kembali sehat.
Yerin tersenyum, ia tak menyangka, sebanyak itu orang yang peduli dengan saudaranya itu. Setahunya anak itu jarang bergaul, bahkan teman dekatnya hanya Irene. Namun di luar itu. Banyak siswa-siswi yang menginginkan hadirnya kembali di sekolah.
Yerin mendudukan dirinya di bangku miliknya. Diraihnya buku tulis yang tepat berada di atas meja. Di kibas-kibaskannya buku itu tepat di samping wajah.
Ia sungguh gerah karena acara doa bersama tadi. Panas dan berkeringat, dua hal yang tak begitu di sukai oleh wanita. Dan begitu juga dengan Yerin. Anak itu berupaya menghilangkan keringat di tubuhnya.
"Heii gaess..! Aku kembali!!"
Ah teriakan itu. Yerin menghela nafasnya setelah suara yang sedikit terdengar cempreng itu menglegar memenuhi ruang kelas. Sudah dapat di pastikan siapa pemilik suara itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
This Love ( REVISI )
Fiksi Remaja"Bagaimana caraku mengungkapkan rasaku,jika aku pun tak mengerti dengan apa yang kurasa-" This Love