It's Okay

106 12 0
                                    

Pisa, Italy, 2019

-Sungjae POV-

“Jadi, mana yang namanya Menara Pisa?” tanyaku celingak-celinguk.

Joy menunjuk ke arah sebuah gedung. Ternyata Menara Pisa berada tepat di hadapanku. Tanpa perlu menengadah. Buatku, Menara Pisa lebih terlihat seperti gedung ketimbang menara.

Joy mengatakan bahwa bangunan setinggi 56 meter ini sebenarnya menara lonceng dari sebuah katedral

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Joy mengatakan bahwa bangunan setinggi 56 meter ini sebenarnya menara lonceng dari sebuah katedral. Menara Pisa merupakan bangunan ketiga di Campo del Miracoli atau lapangan pelangi kota Pisa. Awalnya, Menara Pisa dibuat berdiri secara vertical, seperti menara lonceng pada umumnya. Namun tidak lama setelah selesai dibangun pada tahun 1173, menara menjadi agak condong ke arah kanan. Fenomena yang kemudian menjadikannya unik, dan terkenal.

Hebat dan romantisnya ketika aku mendapati kalau Menara Pisa dibangun dengan paparan hijau bak di padang rumput. Para turis rela duduk-duduk di atas rumput tanpa beralaskan apapun. Sambil menikmati semilir angin, dan tentunya mengabadikan monument dalam bentuk foto. Aku pun melakukan hal yang sama, sambil tak lupa melepas mantel yang aku kenakan. Kali ini dengan ekstrim, bukan duduk lagi, tapi tiduran di padang rumput sembari menikmati arsitektur Pisa.

“Ternyata tidak tingg-tinggi juga. Apa istimewanya?” tanyaku pada Joy.

“Jangan salah, justru karena kesalahan arsitektur atau salah buat inilah yang membuat Menara Pisa miring dan menjadi terkenal. Walaupun miring, Menara Pisa tetap kokoh berdiri,”

Aku memperhatikan Joy sambil tersenyum. Dalam waktu kurang dari sehari mengenal gadis itu membuatku simpatik dan kagum. Dia tidak secantik dan gemulai seperti gadis yang biasa kukenal. Tapi wajahnya seolah menyimpan kekerasan hati tapi juga ketegaran yang tersembunyi.

“Besok kita kemana?”

“Campania” ucapnya singkat

***

 Campania, Italy.

-Joy POV-

Hotel sederhana itu terletak di atas bukit. Eksteriornya perpaduan kayu dan batu kali. Pada bagian depan bangunannya dilengkapi balkon luas, dihiasi tangga berukuran jalan setapak yang pegangannya dipenuhi daun anggur merambat.

Aku berdiri di sisi jendela besar kamar yang terbuka lebar-lebar. Aku meresapi kehangatan yang menyelubungi tempat ini sambil menghirup udara secukupnya.

 Aku meresapi kehangatan yang menyelubungi tempat ini sambil menghirup udara secukupnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Debur ombak Pantai Amalfi terdengar seperti senandung beruntun. Aku menyipit, menatap permukaan laut yang berkilauan tertimpa cahaya matahari, lalu tersenyum mengamati sejumlah kapal yang bergoyang-goyang di atas ombak dan perahu yang berbaris menyisiri pelabuhan.

“Sampai kapan kau akan melamun seperti itu?” 

Aku terkesiap dan segera menoleh. Mataku melebar melihat Sungjae sudah bersandar di ambang pintu sambil melipat tangan di dada.

“Entahlah,” sahutku tersenyum, menatap keluar jendela lagi. “Pemandangan Dusun Positano di bawah bukit seperti menyembuhkan sesuatu dalam diriku,” gumamku.

“Aku tahu,”

Aku melebarkan senyumku, menatap penuh tanya ke arahnya “apa yang kau tahu? Kau bahkan tidak pernah mengalaminya?”

“Hati bisa memperbaiki dirinya sendiri bila kau memberikannya sedikit waktu,”

Aku mengernyit, lalu menggeleng. “Kau tidak akan pernah mengerti,”

“Aku bisa memahaminya, kalau kau membiarkanku,” Selanya datar.

Aku termangu dengan mulut terbuka. Semula aku ingin tertawa. Tapi melihat sungjae terus menatapku dengan sungguh-sungguh, aku sadar bahwa pemuda itu tidak sedang bercanda. Sebelum aku sempat memikirkan balasan untuk pernyataan itu, dia sudah menggerakkan kepalanya ke arah luar “Ayo, temani aku keluar.”

***

Aku tersenyum mengamati dinding pastel di kiri-kananku saat melewati gang sempit yang diapit rumah-rumah sederhana. Bugenvil beraneka warna merambat, menutupi hampir sebagian dinding dan tangga kecil di lorong yang aku lintasi bersama sungjae. Tatapannya terkagum-kagum

“Kau terkihat seperti turis,”

“Kita memang turis,” Tekanku tanpa menoleh.

Dia terlihat tersenyum miring menatap sekitarnya, lalu menyenggol lenganku “Setidaknya kau masih bisa disebut penduduk lokal, bukan?”

Aku menoleh, mengamati penampilan pemuda itu. tidak ada yang berbeda, pikirnya tercenung. Lalu menyipit ke lorong di depanku, mengingat-ingat. Aku tidak bisa menghitung sudah berapa kali Sungjae tersenyum kepadaku akhir-akhir ini. Tapi harus ku akui, aku lebih nyaman dengan Sungjae yang menyenangkan seperti sekarang, ketimbang Sungjae yang sinis dulu. Mendadak aku terkesiap. Apa diriku baru saja mengatakan Sungjae sosok yang menyenangkan?

Aku tidak ingin hanyut dalam pikiran aneh ini, aku buru-buru menyahut. “Sebenarnya, aku punya saudara di sini, mereka tinggal di Isla de Capri. Kau harus menyebrang untuk sampai ke pulau itu,” kataku memberitahunya.

“Oh ya, berapa lama dari Pelabuhan Amalfi ke pulau itu?”

“Sekitar empat puluh menit dengan hidrofil. Itu lebih cepat dibandingkan feri,” terangku mengingat-ingat, lalu melirik penuh arti ke arahnya “bagaimana kalau kita kesana setelah dari sini?”

“Kurasa ide yang menarik” sahutnya sambil berlalu.

Aku tersenyum mengamati Sungjae dari kejauhan. Sorot mata pemuda itu tetap terlihat tenang saat sedang serius. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, meski tidak mengerti, mengapa sosok Sungjae bisa menjadi begitu misterius di mataku. Pemuda itu memang sering membuatku tersenyum, bahkan tertawa. Aku tertegun saat melihatnya tersenyum ke arahku. Oh sial, senyuman terkutuk itu, batinnya segera berpaling.

***

-Sungjae POV-

Aku melebarkan senyumanku saat melihatnya menghindari tatapanku. Aku tetap di posisiku, seakan tidak ingin melepaskannya dalam pandanganku begitu saja.

Aku sendiri heran, kenapa belakangan ini sosok Joy terlihat bersinar di antara kerumunan orang di sekitarnya. Dan getar hangat perlahan memenuhi benakku.

Aku melihat perubahan ekspresinya, lalu segera menghampirinya “apa yang kau pikirkan?” tanyaku.

Dia menggeleng dengan napas tercekat “aku hanya sedang tidak ingin mengingat semua masalah hidupku. Aku takut…”

“Tetaplah bersamaku kalau begitu,”

Dia lekas-lekas menatapku, lalu bertanya dengan suara serak “apa?”

“Tetap bersamaku. Kau akan segera melupakannya”

TBC

Destiny✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang