New York, 2015
-Krystal POV-
“Ready?”
Aku bertanya kepada Naeun setelah selesai memakai sepatu boot. Tidak lama kemudian, satu per satu teman-temanku mulai bermunculan dari flat mereka ketika aku dan juga Naeun hendak pergi. Tas yang biasanya berat karena kamera, dengan ringan aku sampirkan ke bahu.
Yes, it’s December 31 and we are going to Times Square!
Siapa yang tidak tahu tentang ritual perayaan tahun baru legendaris di Amerika ini?
Ribuan manusia berbondong-bondong dan berkumpul di sebuah perlimaan (?) yang dikelilingi layar-layar raksasa. Artis-artis ternama akan tampil sambil menunggu jarum jam mendekati angka dua belas. Waktu itu Lady Gaga dan Justin Bieber adalah performer yang akan membuat Times Square menjadi lautan manusia. Setelah mereka tampil, acara puncak ditandai dengan perhitungan mundur waktu untuk menyambut pergantian tahun. Perhitungan mundur itu disertai dengan peluncuran semacam bola disko raksasa yang diikuti ledakan kembang api di sana-sini.
Mengabaikan pendapat Naeun yang tidak setuju saat aku bilang akan melakukan ini, karena dia takut aku akan terinjak-injak kerumunan dan barang-barangku akan dicuri, aku tetap bersikeras pergi.
“Since we’re already here…why not?”
Kami berdua berjalan menuju subway station dekat tempat sewaan. Dengan udara pagi yang terasa lebih dingin dari biasanya, tanganku beristirahat dengan nyaman di dalam kantung coatku.
Aku dan Naeun sedang membicarakan poster sebuah pertunjukkan di dinding stasiun MTA (Metropolitan Transportation Authority), sebuah jalur kereta bawah tanah yang tersebar di New York, ketika stasiun kami mengumumkan kedatangannya dengan angina kencang yang hangat dan suara mesin bervolume yang tak kalah kerasnya. Kedatangan kereta yang dramatis itu segera menghentikan percakapan kami. Kami langsung masuk ke dalam kereta, dan duduk di kursi kosong pertama yang kami lihat.
Kalau ada satu kata yang bisa aku pakai untuk mendeskripsikan MTA disini, aku akan menyebutnya kotor.
Kereta-kereta di New York relative kotor dan tua. Bandingkan dengan kereta di Singapura yang modern dan bersih-licin. Ada beberapa kereta baru, tapi rata-rata semua berkursi plastik dan tidak nyaman untuk diduduki berjam-jam. Apalagi kereta-kereta yang selama beberapa hari ini membawaku dan Naeun bolak-balik dari Queens, tempat kami menginap dan Manhattan. Kenyamanan jelas-jelas bukanlah fokus dari desainer kereta-kereta ini.
Sebagai navigator terbaik, aku mengeluarkan peta MTA yang besarnya tidak kira-kira.
Aku sadar bahwa banyak hal yang harus dicantumkan ke dalam peta jalur kereta ini, tapi ukurannya yang tidak praktis ini sangat merepotkan. Dengan susah, aku dan Naeun memegang sudut-sudut peta supaya berbagai jalur terlihat jelas di depan kami.
Setelah menetapkan rute perjalanan untuk hari ini, dengan kasak-kusuk tidak karuan aku menunjuk ke sebuah titik di peta tempat kami akan turun. Ketika Naeun dengan heboh berusaha melipat peta itu kembali seperti semula, pintu di samping kami terbuka. Aku melihat ke atas dan menyipitkan mata untuk membaca nama pemberhentian ini
“Lexington Ave 59,”begitu bacanya.
Aku baru saja akan memberi tahu Naeun laporan itu, pandangan mata ku seketika tertuju pada seorang laki-laki dan perempuan yang terlihat sedikit lebih tua masuk ke dalam kereta.
Si perempuan langsung duduk di kursi terdekat, sementara si lelaki berdiri di hadapannya walaupun ada tempat kosong di sebalah di perempuan. Mereka terlihat bercakap dengan normal layaknya sahabat ketika kereta kembali melaju, dan tubuh si lelaki terguncang kea rah si perempuan. Tangan lelaki itu menopang tubuhnya sambil tertawa, sementara si perempuan memukul lengannya dengan santai.
Mereka berdua terus mengobrol diselingi tawa yang terdengar empuk dan hangat. Si lelaki kadang-kadang mengacak-acak rambut si perempuan yang terlihat agak jengah memainkan ujung coat-nya.
“Krys, kamu sedang liat apa?” tiba-tiba terdengar suara Naeun.
Aku menoleh dan mendapati dia celingak-celinguk, berusaha mencari objek perhatian aku tadi.
“Tidakk…”aku tersenyum sebelum menunduk dan memasukkan tangan ke dalam kantong coat.
“Sial, aku teringat dia terus,” bisikku kepada diri sendiri sambil menggelengkan kepala.
Aku merasakan kehadiran I-Phone di dalam kantong. Sebuah benda yang belakangan selalu terasosiasikan dengannya, jari-jariku mulai menelurusi permukaan layarnya.
“Kajja, Krys” terdengar ajakan Naeun sambil berdiri dan berjalan menuju pintu.
Aku Cuma bisa mengangguk dan berjalan beberapa langkah lebih pelan di belakangnya.
***
Here’s a confession : I haven’t talked to the boyfriend for almost a week since that fight. How’s that for honesty? And most importantly, how’s for being a bad girlfriend?
Itulah sebabnya, dadaku otomatis terasa sesak tidak karuan melihat pemandangan silau lelaki dan perempuan di dalam kereta tadi.
Aku rindu.
Aku menaiki tangga dengan langkah cepat, menyembul dari stasiun bawah tanah menuju jalanan kota New York, sambil menghiraukan rasa sakit yang diteriakkan otot dan sesaknya dada karena rasa rindu ini.
Selain rindu, hal lain yang terakumulasi semenjak berada di kota ini adalah betis terasa berotot karena terlalu sering jalan kaki plus naik ratusan anak tangga yang harus aku tempuh. Walaupun stasiun bawah tanah lebih baik daripada di bagian atas seperti yang ada di Chicago, lari menaiki tangga sama lelahnya. Apalagi dengan tendensi orang-orang di sini untuk berjalan cepat, lama-lama tangga-tangga ini rasanya seperti set latihan untuk atlet sepakbola.
Karena stasiun yang berhenti di Times Square sudah ditutup, terpaksa kami harus turun di stasiun lain dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Cahaya terang matahari yang menyinari kota menjadi semakin familiar.
Bukannya lemah, tapi jalan kaki di New York rasanya lebih bahaya daripada naik kereta. Badan kami berulang kali bertabrakan dengan pejalan kaki lain saking sempitnya trotoar. Kami melanjutkan perjalanan dengan aku yang memimpin dan mencari arah. Akhirnya, kami memutuskan mengikuti serbuan manusia-manusia yang sepertinya juga akan menyaksikan perayaan tahun baru legendaris itu.
Aku mengeluarkan I-Phone ku dari kantong dengan segan, takut akan dicuri atau jatuh, dan melihat waktu pertunjukkan pukul sepuluh pagi. Kumpulan manusia sudah terlihat di depan mata, dan seketika aku enggan mendekat. Pernah lihat kerumunan semut di sarangnya? Nah, bayangkan keramaian macam itu tapi dengan manusia berbagai ukuran dan kecepatan berjalan. Yang ada adalah sebuah arus ramai yang tidak mengundang.
“Kalau sudah masuk, sungguh. Tidak akan bisa keluar lagi,” ujarku, ketika langkah kami melambat.
Di depan Times Square, terlihat jajaran polisi sedang menghadang orang-orang yang hendak masuk. Mereka mengecek isi tas dan melakukan prosedur keamanan lain sebelum membiarkan orang-orang memasuki satu blok yang dekat dengan pusat perayaan tahun baru nanti. Aku berjinjit dan melihat jajaran polisi di blok-blok depan melakukan hal yang sama.
“Once you leave, you can’t go back in”kataku lagi.
Untuk sesaat, langkah kami berdua seperti berhenti di tempat. Tanpa saling melihat, aku tahu Naeun memilliki pemikiran yang sama denganku. Setelah berhenti beberapa saat untuk benar-benar memahami maksud dan tujuan pergi ke tempat ini, kami akhirnya terus melangkah.
With linked arms, we walk with the sea of people to the center of Times Square, New York.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny✅
Fiksi PenggemarMereka semua yang pergi dan pada akhirnya kembali. Meski langkah kaki sempat terhenti di persimpangan hati, tapi mereka telah memilih. Memilih untuk pulang dan menikmati segala keindahan yang sebuah rumah tawarkan. Kita tak akan pernah tahu di mana...