Evening Sky

93 8 1
                                    

New York, 2015

-Krystal POV-

Aku dan Naeun menghabiskan sisa malam dengan berjalan menuju bagian kota New York yang memiliki tempat tersendiri di hatiku. 

Seusai menonton sebuah film romance comedy bersama pacar, kebanyakan perempuan akan berkata.“Kamu tidak pernah seperti yang di film tadi.”

Nah, hal yang ada dalam hubungan aku dan my boyfriend adalah dia akan mengomentari dan mengkritik semua gesture romantic yang ada di film itu.

that’s stuuupid”  adalah komentar favoritnya.

Mengkritik lirik dari lagu-lagu favoritku juga menjadi salah satu kegiatan menyenangkan buatnya jika kami lagi menghabiskan waktu bersama.

why would he wait in the corner for a girl? Man. Get a life” salah komentarnya dalam sebuah film

Tapi, komentar paling mengesalkan sejauh ini jatuh pada lagu seorang Youtube artist

you and I could be like honey and bear’? so, what does that mean? One of us can eat the other? That’s promoting cannibalism!” 

Semenjak itu, aku berhenti mendengarkan lagu-lagu kesukaanku di mobilnya.

Kembali ke dunia nyata, aku terduduk di kursi kosong di depan Central Park dan membiarkan kedua kaki ini beristirahat untuk sejenak, sementara Naeun pergi mencari toilet. Di keheningan malam itu, aku mulai memikirkan pembicaraan terakhir dengannya yang secara tidak langsung membahas ketidakjelasan nasib hubungan kami.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul bertubi-tubi di kepalaku. Dan akhirnya, pertanyaan krusial ini muncul : Do we want to go on or we want to stop? Mau berakhir atau melanjutkan hubungan yang akan berjarak?

Aku sudah membuat daftar pros and cons di kepala berkali-kali selama beberapa bulan belakangan ini, dengan harapan bisa membantu untuk mengambil keputusan. Tapi, aku tahu kalau masalah ini tidak bisa selesai dengan keputusan aku sendiri. There’s the two of us in this relationship, dan aku tidak bisa seenaknya sendiri mengambil keputusan.

Sebelum aku membicarakannya lebih lanjut dengan my boyfriend, aku harus tahu apa yang aku sendiri mau dan rasakan. And unfortunately, it’s not as easy as reading a book where the author streets your emotions around.

Buluk-kuduk aku tiba-tiba berdiri. Aku langsung duduk tegak, celingak-celinguk untuk mencari tanda-tanda kehadiran Naeun. I’m not a afraid girl, tapi duduk di tengah kota New York sendirian seperti ini mengerikan juga rasanya. Aku berdiri dan mulai berjalan ke sana kemari dengan perlahan untuk menghangatkan badan dan mengusir rasa takut.

Tiba-tiba aku sadar…

I’m okay.   

Aku memang sendirian di tengah kota, di tengah malam, tapi, aku tidak apa-apa. Ketakutan ini cuma karena aku belum pernah sendirian seperti ini. Tapi, secara keseluruhan, aku baik-baik saja. Aku menghentikan langkah dan membalikkan badan untuk menatap Central Park.

Ketika aku tidak bisa menghubungi orangtuaku, ketika aku kelelahan dan kedinginan karena berdiri selama enam jam lebih di Times Square, dan bahkan saat ini, saat sendirian di tengah kota aku tetap bisa menjalani semua itu tanpa kekasih di sisiku. Bahkan aku sudah mencobanya satu tahun ini, hidup tanpannya.

Jadi, keputusan ini bukanlah masalah bisa atau tidaknya hidup tanpa dia di sampingku secara fisik. Sepertinya, aku bisa mengalahkan rindu. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa I can in fact live without him, and I would be fine too.

He’s not really gone anyway, have you read those paragraphs describing his various random actions during this story?

Fakta bahwa dia selalu ada di dekatku, dalam bentuk apa pun, menambah keyakinan di hati. Aku mampu hidup berjauhan dari dia. Aku baik-baik saja. And heaven knows, bahwa aku tidak mau patah berantakan kalau hubungan kami berakhir begitu saja.

Destiny✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang