°Happy reading°
___
Rin menginjak pedal gas mobilnya dengan raut wajah sendu. Jalanan ramai lancar, meski begitu, Rin sama sekali tidak ingin untuk menambah kecepatan laju mobilnya.Di kala lampu lalu lintas yang memerah menghentikan laju mobil hitamnya, Rin menghela napas cukup berat.
"Asahi, anak itu ...." Rin mengingat kejadian tadi, ketika Asahi menangis karena yakin bahwa dirinya tak akan pernah sembuh.
Sejujurnya, Rin tahu ini. Tahu bahwa kemungkinan Asahi untuk sembuh itu sangat-sangat kecil. Karena setiap beberapa hari sekali memorinya selalu terkuras habis, hilang tak bersisa. Karena itulah Rin menyimpulkan bahwa Asahi sulit untuk sembuh.
"Kamu pasti bisa sembuh, Asahi. Ayo, jangan menyerah!"
"Bagaimana aku bisa sembuh? Untuk mengingat kejadian di satu foto itu saja aku kesulitan, Dokter. Jika untuk itu saja aku kesulitan, bagaimana caranya aku mengingat semuanya?"
Rin menggigit bibirnya. Wanita berkepala lima itu benar-benar kasihan pada Asahi.
"Aku takut, Dokter."
"Apa yang membuatmu takut?"
"Aku takut Boruto akan kecewa. Dia pasti kecewa ketika dia mengetahui fakta, bahwa aku tak akan pernah sembuh. Dia sudah banyak membantuku, tapi aku tetap tak bisa sembuh. Aku ... aku takut dia kecewa."
"Boruto." Rin berbicara setengah lirih. "Asahi benar-benar membutuhkanmu."
🍁🍁🍁
Boruto berada di seberang sekolah Rei. Duduk sendirian di bangku semen yang terasa benar-benar dingin. Bangkunya berada di pinggiran trotoar, di bawah pohon tua yang sedang plontos daunnya.
Salju turun dengan lembut, menyapa makhluk bumi dengan kelembutan miliknya. Boruto tertunduk menatap trotoar. Rambutnya jatuh menutupi sebagian mata birunya.
Permintaan -yang lebih tepat disebut sebagai perintah- Hinata masih membuat Boruto tertunduk dengan perasaan tak karuan. Boruto ingin tetap kukuh pada pendiriannya, ia tidak ingin beranjak dari sisi Sarada. Tak peduli pada kenyataan bahwa sebenarnya, Sarada sudah meninggalkannya sejak dulu.
"Seandainya, suatu saat nanti perasaan kamu untukku berubah, aku mau kamu nggak menyembunyikannya. Bilang terus terang di hadapanku." Sarada tersenyum hangat. Tangan kanannya menggenggam tangan Boruto.
"Sarada?"
"Jangan tunjukin ekspresi sedih kayak gitu, Boruto. Karena apa yang aku katakan, mungkin aja akan terjadi di masa depan. Aku 'kan nggak bisa mengunci perasaan kamu untuk kebahagiaan aku sendiri. Aku nggak mau egois. Kalau kamu nggak bahagia, bilang sama aku, Boruto."
Sungguh, Boruto rasa pelupuk matanya memanas mendengar penuturan Sarada. Wanita yang bulan lalu ia nikahi itu benar-benar tulus pada dirinya.
Sarada mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Boruto. Bibirnya membentuk senyuman hangat teruntuk Boruto seorang. "Tapi meski begitu, aku tetap berharap, kalau perasaan kamu untukku akan tetap sama sampai ...."
"Sampai?" Boruto menatap Sarada penuh rasa.
"Sampai kapan pun."
"Sampai kapan pun." Boruto tersenyum kecil. "Terima kasih untuk semuanya, Sarada ...."
Karena pada saat bola mata hitam itu menatapnya dengan tulus, hati yang semula tak berpemilik segera tertambat dengan erat.
🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Chūsei Kokoro [BoruSara Fanfiction]
FanficEND- Chūsei Kokoro [BoruSara Fanfiction] Ini, cerita tentang seseorang yang berusaha untuk menjaga kesetiaannya. Kata 'setia' yang terucap dengan sangat mudah, ternyata cukup sulit untuk dipertahankan. Bagi Boruto, kata 'setia' yang ia ucapkan beb...