42 // Jika Memang Harus Memilih

1.7K 144 83
                                    

°Happy reading°
___


"Kamu kuat, pasti bisa."

Asahi mendesis, menahan rasa sakit yang semakin membalut kepalanya. Kepalanya dibungkus oleh rasa sakit tak tertahan. Rasanya, seperti ada gelombang yang menghantam kepalanya dari arah depan ke belakang.

"Kenapa harus sesakit ini?"

Kenapa harus sesakit ini? Kalau terus seperti ini, mana mungkin Asahi bisa fokus menangkap semua bayangan itu. Ini mustahil.

"Asahi?" Suara itu terdengar di benak Asahi.

Sudut mata Asahi basah. Pigura foto lepas dari tangannya, jatuh ke atas lantai kemudian pecah. Asahi tidak melepaskan pigura itu begitu saja, tapi tadi ia melemparnya dengan kuat. Kaca dari pigura foto pecah, beberapa di antaranya mungkin bisa melukai kulit.

"Aku ingin ...." Asahi melirih. Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit, mencoba untuk membuka gerbang ingatannya.

Ia ingin membalas semua kebaikan Boruto. Boruto sudah menolongnya, menemaninya, dan memberinya banyak kekuatan. Asahi harus bisa. Ini demi Boruto.

Wanita bermata tenang itu menarik napasnya susah payah. Dengan menggenggam erat keinginannya untuk mengingat masa lalu, ia jatuh terduduk pada lantai. Bibirnya melirihkan nama Boruto. Dua tetes air meluncur dari sudut matanya.

"Aku ... tetap tidak mampu." Asahi menatap pigura foto yang pecah. Selembar foto itu masih bisa ia lihat dengan jelas. Senyuman Boruto dan wanita yang ada di foto itu terlihat amat nyata.

"Mulai dari mengingat Rei."

Asahi tersenyum ketika rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Bahkan kini, pandangannya meredup. Harus berapa kali lagi ia berusaha? Apa kali ini ia benar-benar harus mengumumkan bahwa ia menyerah?

Asahi memejamkan matanya. "Siapa, dia?"

"Asahi?!"

Tubuh Asahi yang terduduk pada lantai bergerak tanpa tenaga. Tubuh atasnya limbung ke belakang, nyaris menyentuh lantai jika saja Boruto tidak datang untuk mendekapnya.

Tubuh Asahi dingin. Tak ada pergerakan yang terlihat jelas pada tubuh wanita itu. Mata hitamnya yang sembab telah terpejam dengan rapat. Jejak air mata terlihat jelas pada pipinya.

Tangan Boruto terkepal erat. Ia mencengkeram bahu Asahi yang terbalut sweater. Dadanya sesak oleh berbagai perasaan. Tak kuasa menahan lirihan perih, Boruto pun melirihkan nama Sarada.

"Sarada .... Kenapa jadi seperti ini?" Boruto tak bisa berbohong. Tatapannya menyiratkan kesedihan juga kemarahan. Ia marah pada dirinya yang tak bisa membawa Sarada kembali.

Boruto menatap kepala Asahi yang bersandar pada dadanya. Dari posisi ini, Boruto juga dapat melihat sebagian wajah lelah wanita itu. Boruto menahan napasnya, sebelum akhirnya mencium puncak kepala Asahi setulus mungkin.

"Aku ... benar-benar tak bisa berbuat banyak untukmu, Sarada. Maaf ...."

🍁🍁🍁

Rin bergegas menuju sebuah ruangan. Wanita itu setengah berlari, lalu terhenti sejenak ketika ia nyaris menabrak seorang anak. Seorang perawat wanita menyusul Rin dengan langkah yang juga tergesa.

"Pasien baru tiba, 'kan?" Rin bertanya.

"Iya, Dokter."

Rin menggigit bibirnya dengan erat. Kejadian ini di luar dugaannya. Dadanya ikut berdenyut nyeri ketika mata cokelat kehitaman miliknya bersitatap dengan mata menyedihkan milik Boruto.

Chūsei Kokoro [BoruSara Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang