38 // Buku Catatan Rahasia

1.2K 123 50
                                    

°Happy reading°
___


Naruto menaikkan sebelah alisnya. Ia berjalan sambil membenarkan posisi dasi hitam yang bertengger di bawah kerah kemejanya. Ditatapnya Hinata dengan air muka bertanya-tanya.

Hinata menempelkan ponselnya pada telinga kanannya. Ia duduk di salah satu kursi makan dengan ekspresi serius. Di atas meja makan, beberapa menu sarapan telah tertata dengan rapi.

"Siapa?" Naruto duduk di salah satu kursi makan.

Hinata diam sesaat. "Boruto. Anak itu tidak mengangkat panggilanku. Padahal aku sudah menelepon hingga empat kali," jawab Hinata.

Naruto menghela napasnya. "Boruto mungkin sedang sibuk. Dia 'kan harus memasak sarapan, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Dia punya banyak pekerjaan di pagi hari. Lebih baik kamu telepon nanti siang saja," balas Naruto.

Hinata meletakkan ponselnya di atas meja makan. Ia lalu mengambil piring kosong. "Iya iya, nanti aku telepon dia lagi. Kamu mau makan apa? Nasi putih dengan sup ayam atau roti bakar mentega?"

"Nasi putih dengan sup ayam," jawab Naruto.

"Sumire katanya sedang sakit. Jadi aku belum menanyakan bagaimana Boruto memperlakukannya ketika kencan kemarin. Padahal aku penasaran." Hinata kini mengambil piring untuk dirinya sendiri. "Boruto juga ditelepon malah tidak diangkat. Jangan-jangan anak itu--"

"Makanya jangan jodohkan mereka," potong Naruto. "Aku Ayahnya, aku juga laki-laki, Nata. Tolong hargai keputusan Boruto."

Hinata menatap Naruto dengan dahi mengerut. "Bukannya kamu sudah berjanji, bahwa kamu tidak akan ikut campur dalam urusan ini?"

"Aku tidak pernah berjanji, kok."

Hinata menghela napas berat. "Aku hanya ingin Boruto bahagia. Aku hanya ingin Rei tahu, bagaimana rasanya memiliki keluarga lengkap di usianya yang bahkan belum berumur enam tahun. Apa aku salah?" Iris lembut Hinata meredup cahayanya, tampak sendu. Dan itu berhasil membuat Naruto merasa iba.

Naruto tahu bahwa Hinata hanya ingin Boruto bahagia. Tapi, bukan begini caranya.

"Agar mudah dipahami, kita anggap saja semua hal yang terjadi di keluarga kecil Boruto itu juga terjadi di keluarga kita, Hinata." Naruto menatap Hinata serius. "Jika kamu yang menjadi Sarada, dan aku yang menjadi Boruto. Bayangkan hal itu terlebih dahulu, Hinata."

Hinata tersentak. "Ma-maksudmu, aku menjadi Sarada? Maksudmu aku yang meninggal, begitu?"

Naruto mengangguk. "Iya. Jika kamu yang meninggal, dan aku tetap hidup dengan perasaan yang seutuhnya masih dimiliki oleh kamu. Tidak peduli pada kenyataan bahwa kamu sudah meninggal, aku tetap menjaga semua perasaanku untukmu. Tidak peduli pada orang-orang yang mengatakan aku bodoh karena merasa masih punya ikatan dengan orang yang bahkan tidak bisa kulihat lagi," ucap Naruto.

Untuk sesaat, Hinata tergugu.

"Bayangkan semua itu terjadi pada kita berdua. Tidakkah kamu bahagia, Hinata? Seharusnya kamu bahagia, karena aku tetap menjaga semua perasaanku untukmu meskipun kamu sudah meninggal."

🍁🍁🍁

Sumire merapatkan kedua telapak tangannya, meniupnya perlahan agar timbul rasa hangat. Iris violet itu bergulir ke kiri dan kanan, berusaha mencari seseorang yang tadi malam menelepon dirinya.

"Maaf terlambat!"

Sumire menoleh. "Kamu aneh. Untuk apa kita bertemu di taman depan rumah sakit sepagi ini, Doushu? Aku kedinginan."

Chūsei Kokoro [BoruSara Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang