°Happy reading°
___
"Pergi."Boruto mengacak rambutnya. Memukul dinding dengan telapak tangannya. Lelaki itu merasakan rasa sesal yang lebih pekat daripada sebelumnya. Berkali-kali ia berusaha untuk tak berhenti berjuang, namun malah tak berdaya ketika orang yang ingin ia perjuangkan malah tersiksa karenanya.
Ia terlalu jahat. Terlalu egois.
Boruto bersandar pada dinding. Mimik wajahnya nyaris tak terbaca lantaran rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah.
Rin belum kembali. Wanita itu masih berusaha untuk menenangkan Asahi. Karena tadi, Asahi kesakitan hingga napasnya sulit untuk dikendalikan.
Moegi dan Mei berdiri dengan jarak dua langkah. Keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata Mei tampak masih sembab. Sebisa mungkin ia menjaga jarak dari Boruto. Ia benci lelaki itu.
"Puas."
Mei menegang ketika suara Boruto terdengar. Ruang persegi tempat berdirinya mereka bertiga memang tidak terlalu luas. Ini hanya ruang pribadi dari Dokter Rin.
Boruto terkekeh pelan. "Kurasa Bibi sudah puas. Apalagi yang kurang? Asahi sudah memintaku untuk pergi. Asahi tak percaya padaku meski aku berkata, bahwa aku suaminya. Kupikir, Bibi cukup berhasil untuk menghancurkan hidup orang lain," ucap Boruto.
Mei menggigit bibirnya. Ia juga tahu, Boruto yang paling berhak untuk mengambil Asahi. Tapi, ia juga tidak ingin kesepian. Ia juga butuh keluarga.
"Kau punya segalanya," lirih Mei. "Kau punya orang tua yang lengkap, kau juga punya seorang putra, hidupmu berkecukupan. Aku hanya ingin mengambil satu. Hanya Asahi. Apa aku tidak boleh egois?"
"Pikirkan itu sendiri," balas Boruto.
Mei ingin egois. Boruto juga.
Tapi ....
Boruto mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha menarik napas agar rasa sesak di dadanya bisa luntur dengan perlahan. Sampai kapan pun, Boruto akan mengingat bagaimana wajah Sarada yang menangis ketika menahan semua rasa sakit. Karena rasa sakit itu, sebagian hadir karena keberadaan Boruto di dekat Sarada.
Boruto meraih kotak kayu yang ada di atas meja Dokter Rin. Melihat semua isi dari kotak itu selama beberapa saat, Boruto lalu menutupnya. Ia berdiam di dekat meja sambil membulatkan keputusannya.
Boruto harus segera memutuskan semuanya. Ia tak punya banyak waktu lagi. Meski berat, meski ia harus menjadi pihak yang mengalah.
Hati, bersiap lagi untuk merasakan apa itu rasa kehilangan.
"Selamat." Boruto berbalik, menatap langsung Mei Terumi yang berdiri dua meter di depannya. "Kau menang, Bi. Aku yang akan pergi."
Mata Mei setengah membulat.
Boruto berlalu dengan langkah yang terlihat mantap, namun ketahuilah, bahwa hatinya masih berdetak ragu.
Moegi menggigit bibirnya. Melihat ini semua membuatnya turut sedih.
Boruto berhenti di ambang pintu. Tangannya yang memegang pegangan kotak kayu terlihat mengepal erat. Ia sedikit menoleh, mata birunya terlihat samar di antara helai rambutnya yang jatuh.
Mei menahan napasnya.
"Satu pesanku," ucap Boruto, "tolong jaga Sarada untukku. Tolong ...."
Baiklah. Terima kasih untuk semesta, yang telah mempertemukan kembali Boruto dan Sarada. Meski pada akhirnya mereka kembali berpisah, tak apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chūsei Kokoro [BoruSara Fanfiction]
FanficEND- Chūsei Kokoro [BoruSara Fanfiction] Ini, cerita tentang seseorang yang berusaha untuk menjaga kesetiaannya. Kata 'setia' yang terucap dengan sangat mudah, ternyata cukup sulit untuk dipertahankan. Bagi Boruto, kata 'setia' yang ia ucapkan beb...