Hujan

156 112 50
                                    

Walaupun kaki ku sudah membaik. Tapi, hatiku masih saja terasa sakit. Entah, trauma dengan pria bertato itu membuatku terngiang terus. Ada rasa kesal dengan Dira. Laki-laki itu meninggalkan ku sendirian di warung. Tanpa memikirkan resiko terburuknya, mungkin jika ia tak datang, aku sudah menjadi berita halaman depan koran cetak dengan judul "siswi di temukan ...."

Jam 07.00 pagi
Aku melihat jam di dinding. "Sial, telat!" Gumamku sedikit berlari. Hingga di depan pagar aku hanya melihat jalanan yang sepi, tanpa ada Dhani atau Dira datang menjemputku. Seakan ada yang kurang di pagi yang tak secerah kemarin.

Aku terpaksa berjalan kaki hingga ujung gang. Menunggu angkutan berwarna hijau yang mengarah sekolahku. Lima menit aku berdiri, menunggu dengan gelisah hingga kaki tak bisa berdiam diri di satu titik .

anik mata tak lepas mengawasi jalanan. Sehingga, aku bisa melihat Dhani bersama gadis itu lagi. Berboncengan menyusuri jalan dan begitu saja melewatiku. Entah, dia tak melihatku atau memang pura-pura mengabaikanku. Padahal, aku bukanlah semut yang bersembunyi di lubang tanah merah.

Berberapa menit lagi ku tunggu  namun setiap kali angkuta berhenti, pasti sudah penuh sesak. Sehingga, mau tak mau aku berjalan ke sekolah. Mungkin, udara pagi yang mendung saat itu bisa menyejukan hatiku yang panas dan Berusaha kuat melangkah ke sekolah.

Kepalaku tertunduk dengan manik mata melihat kaki yang berjalan. Aku menyusuri jalan dengan sedikit berlari, hingga akhirnya aku sampai di gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Seolah, kesialan mengikuti ku terus menerus berberapa hari belakangan.

"Jalanku tak seperti siput tadi. Kenapa bisa terlambat!"Gerutu Ku kesal menyalahkan kaki ku yang lambat.

"Pak, tolong bukain dong."Pintaku, dengan mata sendu ke arah pak satpam.

"Kok bisa telat, biasanya kamu paling awal datangnya,"ucapnya, dengan tangan menggembok selot pagar sekolah.

"Maaf pak, tadi saya jalan kaki dari rumah,"ucapku dengan mata berbinar, memohon agar di izinkan masuk ke dalam sekolah.

"Maaf bapak ndaa bisa bantu, nanti bapak dimarahin Bu Wati."

"Baik pak."Kulihat pria itu sudah menjauh dari pagar, meninggalkanku tetap berdiri menggenggam besi putih yang sedikit pudar, pandanganku tak lepas dari sekolah yang sudah terlihat sepi.

Matahari sudah setengah sembunyi dibalik awan, membuatku terpaksa pergi dari tempatku berdiri. Berjalan tanpa arah, dengan rasa resah menyelimuti wajah.

"Kalau aku pulang. Pasti ibu marah."Pikirku, dengan langkah menciptakan kebulan debu berterbangan ke udara.

Terpaksa aku berjalan menyusuri keramaian kota di sekitar sekolah dengan pandangan yang mengawasi setiap sudut jalanan, takut jika Ibu melihatku tak berada di dalam sekolah.

Langit sudah menghitam, tandanya hujan akan turun sangat deras sekali.
Bukannya aku ini peramal, tapi apa yang aku pikirkan itu benar. Hujan turun seperti menggempur badanku, membawa ku berlari mencari tempat berteduh. Sama, seperti mereka yang datang setelahku. Berlindung di bawah jembatan penyebrangan.

Aku duduk dengan baju yang basah, menunggu hujan lebih menyenangkan daripada harus mengingat Dhani bersama perempuan lain. Menyandarkan kepala dengan ke dua tangan mendekap tubuh sendiri, mencoba menghangatkan badan yang mulai menggigil.

"Dingin?" Ucap seseorang dari samping tempatku duduk.

"Dira." Sapaku, aku terkejut saat ia datang dengan payung pink di tangannya.

"Iya," jawabnya, ia hanya tersenyum ke arahku.

"Kenapa kamu di sini?" Tanyaku menatap tubuhnya yang basah juga.

Tentang Rasa  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang